logo

Kampus

Akademisi UMY : Pengesahan UU TPKS Harus Dibarengi Perubahan Peradaban

Akademisi UMY : Pengesahan UU TPKS Harus Dibarengi Perubahan Peradaban
Dosen UMY Nur Azizah meminta penerapan UU TPKS juga harus seiring dengan perubahan peradaban yang menyangkut belenggu patriarki. Dimana sering kali kekerasan dan kejahatan seksual dianggap sesuatu yang tidak penting. (UMY)
Setyono, Kampus20 April, 2022 13:26 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) harus dibarengi dengan perubahan peradaban, khususnya pada belenggu budaya patriarki dengan tidak lagi memberikan toleransi pada pelaku kekerasan seksual.

Hal ini disampaikan Pakar gender dan politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Nur Azizah yang juga merupakan Dosen Hubungan Internasional di kampus tersebut, Rabu (20/4/2022).

"Kami mengapresiasi langkah DPR mengesahkan UU TPKS di tengah peliknya persoalan kekerasan seksual yang terjadi. Hal tersebut menunjukkan komitmen yang lebih baik dalam progress hukum serta penanganan kekerasan seksual," katanya.

Dia menambahkan, disahkannya UU TPKS merupakan suatu langkah dan payung hukum yang bagus, meskipun tidak berarti selesai persoalan. Pada Implementasinya, UU itu masih membutuhkan banyak tahap dengan turunan menjadi berbagai peraturan dengan konteks tindak pidana kekerasan seksual.

Menurutnya, berbicara mengenai kekerasan seksual ada beberapa faktor dilematis yang dialami korban diantaranya adalah rasa trauma, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengusutnya ke ranah hukum.

"Korban memiliki keinginan untuk melupakan kejadian yang dialami, serta adanya rasa takut jika mengalami sanksi sosial dan berimbas pada keluarga korban. UU ini diharapkan memberi titik terang dengan dengan tidak memberikan toleransi kepada pelaku kekerasan seksual," katanya.

Dia berharap dengan adanya hal tersebut, bisa tercipta peradaban yang menghargai keadilan bagi semua pihak termasuk bagi korban kekerasan seksual dan tercipta kesetaraan gender.

Dia menilai, aebagai tindak kejahatan yang sering terjadi di Indonesia, kekerasan seksual dianggap sebagai suatu hal yang tidak terlalu penting. Hal ini disebabkan masyarakat masih terbelenggu budaya patriarki, yang sering permisif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual.

"Terlebih bentuk kekerasan seksual memiliki jenis yang beragam, sehingga merasa tidak perlu untuk diatur dalam UU dan berdampak pelaku diberi hukuman sangat ringan," tegasnya.

Dalam pandangannya, mengubah budaya dari budaya patriarki memang bukan suatu hal yang mudah, namun mengubah budaya itu perlu dilakukan. Misalnya bagaimana memberikan efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan seksual apapun bentuk serta jenisnya.

Kemudian memberikan pemahaman terhadap jenis kekerasan seksual dalam upaya mengubah budaya patriarki karena belum tentu masyarakat paham tentang bentuk atau jenis kekerasan seksual.

"Lewat sosialisasi akan ada perubahan kesadaran pada perempuan dan laki-laki tentang kekerasan seksual yang terjadi karena adanya kesenjangan power. Yaitu pelaku memiliki power yang lebih unggul sedangkan korban memiliki power yang lemah," tutupnya.

Read Next