logo

Art

Alfito Deanoval, Perajin Kecil Wayang dari Klaten

Alfito Deanoval, Perajin Kecil Wayang dari Klaten
Alfito Deanoval sedang menyungging wayang kayon di teras rumahnya, Butuh, Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Klaten. (Eduwara/K.Setia Widodo)
Redaksi, Art13 Desember, 2022 16:40 WIB

Eduwara.com, KLATEN – Kampung Butuh, Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Klaten menjadi salah satu sentra perajin wayang kulit. Di tempat itu, mayoritas penduduknya sudah menjadi juru tatah (memahat wayang) dan sungging (mewarnai wayang) selama lebih dari 40 tahun. Walaupun mayoritas perajin sudah berumur 30-an tahun, tetapi ada satu perajin yang masih berusia muda.

Dialah Alfito Deanoval (12), seorang anak yang memiliki bakat menggambar serta nyungging wayang kulit di KBA Butuh, Sidowarno, Klaten.  Bakat dia menjadi angin segar bagi keberlangsungan dukuh yang meraih penghargaan Kampung Berseri ASTRA (KBA) pada 2018 itu.

Bakat bocah yang kerap disapa Fito itu sudah terlihat semenjak belum masuk sekolah. Seperti penuturan ayahnya, Sukadi (48) yang juga perajin wayang di Butuh, Fito mulanya gemar menggambar mobil di tembok rumah yang kala itu masih terbuat dari papan.

Gambar mobil Fito, sambung dia, pada awalnya masih bergaya gambar miring. Kemudian Sukadi sering mengajak nongkrong anaknya di pinggir jalan raya. Ketika sampai di rumah, apa yang dilihat Fito di jalan raya diungkapkan dalam gambar hampir tiga dimensi.

“Kalau gambar miring kan rodanya ada dua, setelah itu sudah ada tiga roda, depan dua, samping kanan atau kiri satu. Kemudian mulai berkembang, akhirnya dia coba-coba menggambar wayang mulai TK. Awalnya mewarnai dengan pensil warna, setelah itu menggunakan cat air seperti orang nyungging wayang, sampai sekarang,” ujar dia kepada Eduwara.com, Sabtu (10/12/2022) di kediamannya.

Walaupun tidak ada darah seniman, lanjut Sukadi, pengaruh lingkungan membuat bakat Fito kian berkembang. 

“Kemarin saya minta untuk menggambar mangkara atau gambar bagian belakang wayang gunungan yang sedang saya garap,” kata Sukadi seraya menunjukkan gambar mangkara yang Fito buat.

Dalam proses menggambar dan nyungging wayang, Fito lebih banyak belajar secara mandiri. Misalnya ketika sang ayah menyontohkan memberi warna emas atau nggrenjeng, dia hanya melihat kemudian mempraktikkannya. Begitu pula ketika menggarap wayang pesanan, Sukadi hanya memberi pola batasan warna kemudian Fito tinggal memberi warna mengikuti pola yang sudah dibuat.

“Saya cuma 30 persen yang 70 persen dia sendiri. Bahkan dia bikin motif sendiri yang saya pun tidak bisa,” ujar Sukadi seraya menunjukkan papan ujian Fito ketika SD yang bergambar wayang.

Kini, Fito sudah menyungging beberapa wayang secara mandiri tanpa bantuan ayahnya. Namun hasil karya tersebut belum ada yang dijual. “Istilah jawanya tidak bisa dijagakke. Misalnya ada pesanan orang kan ada batasan waktu. Beda kalau milik sendiri,” tukas Sukadi.

Sukadi berharap, nantinya Fito bisa mandiri dan punya pasar sendiri. Apalagi dia sudah dikenal oleh kolektor, akademisi, dan seniman wayang di daerah Solo dan Jogja. 

Sebut saja Hernot Sarwani, Stanley Hendrawijaya, Sunyoto Bambang Suseno, Bima Karangjati, Bima Slamet Raharja, Rudy Wiratama, dan lainnya. Lebih dari itu, Fito juga telah meraih juara 1 lomba menyungging wayang yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kota Solo pada tahun 2021.

Bagi Fito, wayang adalah inspirasi dalam membuat karya. Dia mengaku tidak menghitung berapa banyak hasil karya yang sudah dia buat. “Ketika kecil, setidaknya ada 100-an gambar yang ditempel di dinding. Kalau mewarnai satu tokoh wayang berukuran kecil ya butuh waktu satu minggu, tapi tidak selalu begitu, sesuai mood,” kata Fito.

Sukadi (kiri) tengah menyungging tokoh wayang Bagong, sedangkan Alfito Deanoval (kanan) menyungging wayang kayon. (Eduwara.com/K. Setia Widodo)

Dia menambahkan, yang paling sulit bagi dia adalah menggambar tokoh wayang raksasa. Di balik kesulitan itu, Fito mengaku jika tokoh tersebut maupun wayang yang berjenis prengesan adalah favoritnya.

Karya-karyanya juga diunggah di akun instagram pribadi Fito. Bahka Fito membuat komunitas di platform TikTok yang berisikan anak-anak seusianya yang sama-sama suka menggambar. Di komunitas tersebut, dia dan teman virtualnya saling memberi tanggapan mengenai karya masing-masing.

Regenerasi

Dari 80 orang yang menjadi perajin wayang kulit, bisa dikatakan hanya Fito yang mewakili generasi muda, terlebih lagi masih di usia sekolah. Menurut penuturan Koordinator Lapangan KBA Butuh Nardi Baron, kondisi tersebut berbeda dengan generasi pertama yang diajarkan oleh Mbah Kasimo hingga generasinya.

Oleh karena itu, regenerasi menjadi perhatian penting bagi seluruh warga Butuh. Pihak pengelola pun sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberi edukasi kepada generasi muda.

“Mengenai regenerasi, istilahnya terang-terangan kami paksa. Kalau tidak, anak-anak akan lupa dan jarang sekali ada anak yang berangkat dari kemauan sendiri. Soalnya kalah dengan gawai dan game online,” kata Baron ketika ditemui Eduwara.com di kediamannya.

Baron menjelaskan, pihaknya sudah membuat terobosan dengan masuk ke sekolah baik jenjang PAUD dan SD di lingkungan Sidowarno. Langkah tersebut bertujuan memberikan edukasi agar generasi muda senang dengan wayang.

“Kami pernah memberi edukasi di SD Sidowarno 2 pada tahun 2019 hingga awal 2020. Kami mengharapkan kalau bisa dijadikan kurikulum pembelajaran khusus ketika di sekolah maupun selepas sekolah. Namun usaha itu harus terhenti akibat pandemi Covid-19,” jelas dia.

Menurut Baron, walaupun sudah diberi edukasi, seorang anak pasti tergantung dengan orang tuanya. Saat ini, sudah muncul bibit-bibit baru dengan orang tua yang juga mendukung seperti Fito. 

Di keluarganya, Baron juga mengarahkan dengan kuat tenaga agar anaknya juga mencintai wayang, Setidaknya dirinya selalu memberikan ilmu, dengan harapan ketika anaknya sudah lulus menempuh pendidikan bisa meneruskan pekerjaan yang dia geluti.

“Insyaallah ada harapan. Saya yakin seyakin-yakinnya, wayang tidak akan hilang dari Butuh. Soalnya kami masih punya generasi penerus. Entah bagaimana nantinya, tapi kami yakin,” tegas dia. (K. Setia Widodo)

Read Next