logo

Art

Disiapkan Jadi Warisan Dunia, UGM Usulkan Kosmopolis Rempah sebagai Pengganti Jalur Rempah

Disiapkan Jadi Warisan Dunia, UGM Usulkan Kosmopolis Rempah sebagai Pengganti Jalur Rempah
Paparan Sri Margana dalam Seminar Jalur Rempah Warisan Dunia: Bukti Globalisasi dan Akulturasi di Nusantara, Kamis (27/4/2022). (Eduwara.com/Dok. Istimewa Zoom seminar) (EDUWARA/Istimewa)
Redaksi, Art29 April, 2022 00:20 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Universitas Gadjah Mada mengusulkan penggunaan istilah Kosmopolis Rempah sebagai pengganti istilah Jalur Rempah, yang saat ini sedang dipersiapkan sebagai warisan dunia (world heritage) untuk memperkuat diplomasi Indonesia dan meneguhkan sebagai poros maritim dunia.

Hal itu dikemukakan dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) Sri Margana dalam Seminar Jalur Rempah Warisan Dunia: Bukti Globalisasi dan Akulturasi di Nusantara, Kamis (27/4/2022). Seminar diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jogja secara hybrid dari Grand Rohan Jogja dan virtual Zoom meeting.

“Kami di UGM mengusulkan tidak menggunakan istilah Jalur Rempah namun Kosmopolis Rempah. Karena, setelah abad 15-16 Indonesia menjadi negara jajahan. Kalau menggunakan istilah Jalur Rempah, menurut saya, hal itu menunjuk kepada kejayaan Eropa yang menjajah kita. Menurut saya, yang terpenting adalah nilai dan bagaimana kegunaan rempah di dunia,” kata Margana.

Sri Margana, yang tergabung dalam Tim Kosmopolis Rempah UGM, mengatakan dalam historiografi, berbicara rempah umumnya menjadi akar dari penjajahan imperialisme Eropa di Indonesia, dan tidak mengenai kegunaan rempah yang dibawa ketika sampai di Eropa. Padahal pada awalnya, para pelaku perdagangan rempah adalah orang-orang nusantara. 

“Rempah sudah ditemukan di Romawi, Yunani, Mesir, dan bahkan sebelum Masehi. Sumber-sumber Eropa menyebutkan rempah-rempah itu dibawa oleh penunggang gelombang atau orang-orang nusantara. Tetapi sumber-sumber periode itu terlalu fragmentaris sehingga menjadi kesulitan besar untuk membuktikan menjadi pelaku utama jalur rempah sebelum kedatangan orang Eropa,” paparnya.

Margana mengungkapkan, sebenarnya ekspedisi mencari rempah yang dilakukan orang Eropa awalnya hanya untuk memanjakan lidah. Hal itu dibuktikan penggunaan rempah untuk kuliner, misalnya ketika memasak daging ditambah rempah-rempah, rasanya menjadi lebih enak. Rempah juga digunakan sebagai obat dan dianggap sebagai pengusir roh jahat. 

“Pengusir roh jahat ini tidak semistis yang kita pahami, namun lebih pada fungsi rempah yang digunakan untuk menghilangkan bau badan dan berbagai jenis bau,” jelasnya.

Berawal dari hal tersebut, orang-orang Eropa mulai menciptakan pomander, semacam guci kecil yang diisi berbagai rempah-rempah dan diikat di pinggang perempuan. Pomander berfungsi sebagai parfum dan mencegah penyakit dan mengusir setan karena kepercayaan di sana bahwa setan muncul akibat bau.

Sumber-sumber Eropa juga banyak menjelaskan kegunaan dari rempah, seperti kayu manis yang dipercaya melancarkan pencernaan, lada bagus untuk keperkasaan dan memperbaiki kualitas sperma. Kemudian pala digunakan untuk sakit gigi, dan sebagainya. Karena rempah banyak digunakan untuk kesehatan, pada saat itu orang-orang Eropa mencari rempah tidak di pasar, namun di apotek.

Dengan munculnya berbagai jenis rempah dan juga vegetasi di Indonesia, juga memunculkan ilmu pengetahuan. Sehingga walaupun unsur dagang VOC lebih kuat, mereka menugaskan GE Rumphius untuk meneliti berbagai vegetasi yang bisa bermanfaat untuk kehidupan manusia.

 Karena itu, selain mendorong peradaban yang besar dengan mengubah perilaku gaya hidup, kesehatan, dan sebagainya, rempah juga berkontribusi terhadap perkembangan di Eropa. Menurut Margana, hal-hal seperti inilah yang perlu banyak ditulis dan dikaji.

“Agar kita tahu persis dalam membanggakan sesuatu. Tidak hanya menjadi beragam, multikultural, toleran berbagai kebudayaan, kita juga tahu bahwa di dunia sebelah sana, ilmu pengetahuan berkembang luas termasuk di Indonesia dengan adanya rempah ini. Sehingga rempah bisa dimanfaatkan lebih luas lagi,” pungkas dia. 

Rute Laut

Pada bagian lain, dosen Departemen Arkeologi FIB UGM Widya Nayati mengatakan sebelum kedatangan bangsa Barat, nusantara sudah memperoleh anugerah menjadi tempat persilangan jalur perdagangan global. 

Selain jalur sutra (silk road) yang melewati rute darat, terdapat rute yang melewati laut yakni dari Laut Cina Selatan, memutar di wilayah Tanjung Pinang dan Batam, lalu naik ke Selat Malaka, Asia Selatan dan Barat, hingga sampai di Afrika Timur.

Keberadaan rute laut tersebut mengakibatkan daerah Aceh hingga Palembang menjadi tempat yang mengalami kontak erat dengan jalur perdagangan. Daerah tersebut menjadi titik belok dan tepat di garis khatulistiwa. Bahkan jalur tersebut masih digunakan sebagai jalur pelayaran hingga sekarang ini. 

Jalur pelayaran tersebut tidak hanya mengakibatkan akulturasi antar bangsa dan etnis namun juga memiliki konsekuensi besar, yakni mempertahankan diri dari perompak maupun bentang alam yang bisa mengakibatkan kapal tenggelam.

“Yang menjadi hal penting mengapa banyak kapal tenggelam adalah garis khatulistiwa. Kemudian kalau ada angin muson yang mengenai Pegunungan Bukit Barisan akan berputar dan membahayakan kapal. Selain itu, banyak karang dan perompak,” jelas Widya yang tergabung dalam Tim Kosmopolis Rempah UGM.

Widya juga menambahkan, orang-orang nusantara yang mengaku nenek moyangnya seorang pelaut, harus melakukan perubahan pengetahuan. Tidak hanya sekadar tahu jumlah pulau, luas laut maupun pantai, namun mereka harus paham bahwa orang-orang nusantara dan orang-orang sebelumnya adalah orang hebat dalam memahami perubahan cuaca, teknologi, dan pengetahuan yang kompleks.

Pada kenyataannya, barang-barang yang menjadi komoditas di daerah Sumatera menjadi suatu hal yang menarik dan mahal menjadikan para pedagang untung. Hal itu didukung dengan komoditas hasil hutan, barus, madu, dan lainnya. 

Banyak orang berpikir ada orang asing yang datang kemudian melakukan perdagangan dengan penduduk lokal. Padahal masyarakat lokal sudah pintar, yang dibuktikan dengan saling datang ke beberapa tempat dengan membawa barang dan berkomunikasi.

“Hal ini yang menjadikan akulturasi dan toleransi. Kemudian hal lain yang muncul adalah komoditas-komoditas yang saling ditukarkan. Walaupun kita tahu misalnya suatu barang dari Thailand, India, maupun daerah lain, tetapi jika sudah lepas dari konteksnya, maka tidak ada artinya. Jadi suatu barang bisa ada di suatu tempat di wilayah nusantara, kemudian punya arti apa bagi masyarakatnya,” ujar dia. (K. Setia Widodo)

Read Next