logo

Kampus

Sejarawan UM: Mudik Semakin Masif Sejak Terbit UU Gula

Sejarawan UM: Mudik Semakin Masif Sejak Terbit UU Gula
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono. (EDUWARA/Istimewa)
Fathul Muin, Kampus01 Mei, 2022 23:25 WIB

Eduwara.com, MALANG — Fenomena mudik di Indonesia, terutama menjelang, semakin masif sejak terbit UU Gula dan UU Agraria pada masa kolonial Belanda.

Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono, mengatakan sejak terbitnya dua UU tersebut, maka muncul pusat-pusat ekonomi baru yang dipicu usaha industri gula dan perkebunan secara umum.

"Selain itu, muncul pula pusat-pusat pemerintahan dan bisnis, terutama perdagangan di kota-kota besar yang tengah berkembang," kata Dwi Cahyono di Malang, Sabtu (30/4/2022).

Munculnya pusat-pusat ekonomi, bisnis, dan pemerintahan itu, kata dia, menjadi magnet yang menyedot tenaga kerja dari desa, udik, untuk bekerja di sana. Pada saat yang sama, mereka para urban itu pada saat tertentu rindu kampung halaman sehingga memutuskan pada momen tertentu, seperti umat Islam yang mudik pada Lebaran, Muharam, dan Iduladha.

Fenomena mudik tidak eksklusif terjadi pada budaya umat Islam. Umat Hindu Bali juga mudik saat perayaan agama tertentu di Bali, seperti Galungan. Begitu juga umat Kristiani mudik saat Natal, dan warga keturunan Tionghoa mudik saat Imlek. Mudik, kata Dwi, menjadi keniscayaan bagi masyarakat Indonesia, tidak terbatas mereka yang muslim karena budaya nusantara terkenal dengan keluarga besar, bukan keluarga inti. 

Mudik berarti juga sebagai simbol ekspresi bahwa mereka yang merantau telah berhasil melakukan mobilitas sosial sehingga mudik merupakan juga show of force dari pemudik di tanah kelahirannya. Karena itulah, pada ritual mudik sangat lazim mereka yang berhasil di tanah rantau dan berhasil kembali ke udik dengan membagi-bagikan kemakmuran lewat berbagi rezeki pada keluarga, kerabat, dan teman-teman sejawat.

Mudik juga juga kegiatan memorabilia, bernostalgia di kampung. Mengenang masa-masa indah di kampung sebelum para pemudik tinggal di rantau. Mudik, kata Dwi, juga tentu terkait dengan momen religi. Setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan yang sesuai dengan janji Tuhan YME dosa-dosanya akan diampuni, maka orang juga memohon ampun atas dosa terhadap sesama, terutama terhadap orang tua, bahkan jika mereka telah meninggal.

"Karena dalam mudik, ritual ke makam juga penting. Karena itulah, mudik selalu dilakukan sebelum Lebaran supaya pemudik berkesempatan datang ke makam untuk berdoa ke makam orang tua dan minta maaf atas dosa-dosa yang mereka perbuat selama hidup," ucapnya.

Men-charge Diri

Ritual juga menjadi penting, kata dia, karena kegiatan semacam kegiatan me-charge rohani mereka. Saat menjalani kerasnya kehidupan di rantau, mereka perlu menge-charge diri dengan mudik agar lebih siap dalam menghadapi tantangan hidup di rantau karena mudik sebenarnya juga upaya peneguhan diri atas identitas para pemudik. 

Karena itulah, mudik harus fisik. Tidak bisa dilakukan dengan medium lain seperti teknologi seluler karena maknanya yang dalam.

Sebenarnya, kata Dwi, mudik sudah dilakukan bangsa Indonesia sebelum era perkebunan dan era industri gula. Namun saat itu masih terbatas bagi mereka yang mereka yang mobile karena karena profesi sebagai pedagang. Beberapa suku di Indonesia terkenal dengan mobilitasnya, melakukan urbanisasi  sejak lama seperti Minang, Madura, Bugis, dan lainnya.

Saat itu, mudik belum masif karena warga di udik tidak perlu melakukan udik karena daerahnya mampu memenuhi kebutuhan warganya, self sufficient. Namun setelah berkembangnya penduduk dan semakin majunya ekonomi, maka fenomena urbanisasi tidak bisa dihindari dan budaya mudik menjadi berkembang.

Mudik, kata dia, berasal dari kata udik yang berarti hulu. Kala itu, orang melakukan urbanisasi dari udik ke hilir. Ketika kembali ke udik, maka aktivitas mereka disebut mudik. "Dari kata itu, maka jelaslah bahwa budaya leluhur kita sebenarnya budaya maritim sungai," ujarnya.

 

Read Next