Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SRAGEN – Banyak media yang digunakan untuk menyalurkan minat dan bakat siswa. Akan lebih baik lagi jika media tersebut menjadi bagian dari pembelajaran sekaligus pelestarian budaya. Hal itulah yang dilakukan Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Sragen dengan adanya grup Karawitan "Langen Suka".
Penanggungjawab Karawitan SLBN Sragen Joko Maryanto menuturkan, "Langen Suka" berarti gembira. Grup tersebut baru saja berdiri sekitar dua hingga tiga tahun ini.
"Saya masuk di sini pada tahun 2012. Untuk grup karawitan kami baru berjalan sekitar dua hingga tiga tahun ini," kata dia ketika diwawancarai Eduwara.com, Selasa (2/8/2022) di ruang karawitan.
Grup karawitan, sambung dia, pada awalnya bertujuan untuk pembelajaran. Namun jika sendiri-sendiri agak susah. Jadi perlu pelibatan guru, sehingga mereka diajari terlebih dahulu. Setelah itu para guru bisa mendampingi siswa satu per satu agar fokus.
"Menurut para ilmuwan, suara-suara gamelan kan bisa untuk terapi kepada anak. Maka biarpun anak-anak di sini yang mungkin memainkan gamelan istilahnya belum mahir, namun dengan mendengarkan pun sudah senang," tambah dia.
Keberadaan gamelan di SLBN Sragen memang diperuntukkan sebagai pembelajaran. Terlebih lagi ada mata pelajaran kesenian yang juga didukung program ekstrakurikuler.
Joko menuturkan, pada awalnya wujud gamelan di SLBN Sragen istilahnya masih kuno. Kemudian dari pihak sekolahan membeli rancakan yang baru. Selain gamelan, juga terdapat kelir dan satu kotak seperangkat wayang kulit.
"Pada awalnya memang kalau belajar karawitan agak susah. Karena basic guru-guru yang berbeda. Tetapi mereka tetap mencoba dan akhirnya bisa memainkan gamelan. Akhirnya sampai sekarang untuk bapak ibu guru masih berkelanjutan belajar dan mengajari para siswa," jelas dia.
Selama dua hingga tiga tahun, Joko mengatakan grup Karawitan "Langen Suka" belum manggung di luar sekolah. Namun grup tersebut sudah mengisi acara dari pemerintah daerah khususnya Dewan Kesenian Daerah (DKS) Sragen dan Komunitas Sarde Sragen.
Antusias
Menurut dia, antusiasme guru maupun siswa sangat tinggi untuk berlatih gamelan. Akhirnya dibuat sistem dua shift agar merata.
"Karena alatnya terbatas, biasanya cukup 10 orang, sedangkan yang minat ada 20an orang. Makanya saya bagi menjadi dua shift. Untuk anak-anak juga banyak yang antusias. Bahkan mereka juga sudah pentas di luar sekolahan seperti ada teman yang membutuhkan pemain kendang, maka kami ikutkan," ujar dia.
Terkhusus untuk siswa, Joko mengungkapkan karena sudah banyak yang lulus, maka diperlukan pelatihan kembali untuk regenerasi. Lebih lanjut, walaupun dari SLB, tetapi dia dan seluruh warga sekolahan tetap semangat untuk nguri-uri budaya Jawa.
"Biarpun kami dari SLB, kami juga bisa nguri-uri budaya Jawa khususnya karawitan. Walaupun hanya sekadar lingkungan sendiri, tetapi kami tetap nguri-uri, meningkatkan untuk pembelajaran. Kami kenalkan kepada anak-anak mengerti akan karawitan yang merupakan seni tradisi Jawa yang adiluhung," harap dia. (K. Setia Widodo)