Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SOLO – Banyak cara dilakukan umat Islam dalam menyambut Lailatulqadar atau Malam Seribu Bulan, di antaranya dengan mengencangkan ibadah sholat malam dan mengaji. Namun, Keraton Solo memiliki cara berbeda untuk menyambut malam sepuluh terakhir Ramadan, yakni dengan menyelenggarakan Kirab Malem Selikuran, Jumat (22/4/2022) malam.
Kirab Malem Selikuran merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan pada malam ke-21 Ramadan. Penyelenggaraan kirab ini dipercaya sudah ada sejak zaman kerajaan Demak.
“Konsep Malem Selikuran sudah ada sejak zaman kerajaan Demak. Kemudian dibawa ke kerajaan Pajang, berlanjut ke Mataram Islam, Kartasura, setelah itu Surakarta dan Yogyakarta. Jadi semua meneruskan adat istiadat internalisasi Islam dalam budaya Jawa,” jelas Ketua Takmir Masjid Agung Keraton Solo, M Muhtarom saat diwawancarai Eduwara.com selepas kirab di Masjid Agung Keraton Solo.
Pantauan Eduwara.com, Kirab Malem Selikuran dimulai dari Bangsal Kemandungan Keraton Solo pada pukul 21.00 WIB. Iring-iringan peserta kirab terdiri dari 500-an abdi dalem Keraton Solo, dengan barisan paling depan membawa lampion berbentuk bintang, gapura masjid bertuliskan lafal Allah; lambang Keraton Solo, Sri Radya Laksana; serta lampu ting.
Dibaris berikitnya adalah kelompok Santiswara yang melagukan puji-pujian selawat dan kidung tolak bala selama perjalanan menuju Serambi Masjid Agung Keraton Solo. Kemudian, disusul dengan para abdi dalem yang membawa jodhang berisi 1.000 tumpeng berukuran kecil yang melambangkan seribu bulan.
Sesampai di Serambi Masjid Agung Keraton Solo, Ketua Takmir Masjid memimpin doa untuk meminta keberkahan Ramadan, agar dipertemukan dengan Lailatulqadar, juga mendoakan keselamatan keluarga besar Keraton Solo serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Usai doa bersama, 1.000 tumpeng dibagikan kepada para abdi dalem maupun masyarakat yang berada di Serambi Masjid Agung Keraton Solo.
Pewarisan Nilai Sejarah dan Budaya
Menurut Muhtarom, Kirab Malem Selikuran merupakan produk konsep baru akulturasi Islam dan budaya Jawa. Dia menyebut bahwa raja Mataram Islam ketiga, Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah sosok yang sangat kuat dalam membuat akulturasi tersebut.
“Kita tahu bahwa Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah tokoh yang sangat kuat dalam membuat akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Oleh karena itu nilai-nilai yang terkandung dalam Kirab Malem Selikuran harus kita kawal, lestarikan, dan diwariskan kepada generasi muda sehingga nilai-nilai sejarah dan budaya yang bagus ini mampu kita transformasikan ke masa depan,” kata dia.
Kirab Malem Selikuran, sambung Muhtarom, juga bentuk wujud syukur Raja Keraton Solo, Susuhunan Paku Buwana XIII untuk berbagi kepada para abdi dalem dan masyarakat. Terlebih lagi dilakukan dalam momentum Ramadan yang mengandung nilai untuk banyak bersedekah maupun berbagi kepada sesama.
“Konsep yang mampu kita tangkap di momentum bulan Ramadan ini merupakan suatu hal yang luar biasa. Dan kita sebagai generasi muda harus mampu menangkap pesan-pesan moral maupun nilai-nilai yang terkandung, sehingga dapat mengeksplorasi dan mentransformasikannya,” ujar dia.
Muhtarom menambahkan, nilai-nilai yang terkandung dalam akulturasi Islam dan budaya Jawa memberikan konsep pendidikan kepada siapapun tanpa menginjak moral dan harga diri masing-masing. Misalnya, mengajarkan bersih dan suci tidak perlu oratoris atau banyak narasi. Hanya dengan membuat blumbang air di area masjid menjadikan siapapun yang masuk secara otomatis akan bersih dan suci.
“Konsep pendidikan zaman dulu memberikan ajaran kepada siapapun yang belum tahu tanpa harus merendahkan moral, harga diri, dan tanpa menyinggung perasaan. Kalau konsep pendidikan kita seperti itu pasti akan efektif dan tujuan pendidikan yaitu menciptakan bangsa Indonesia yang berkarakter bisa tercapai,” tutur Muhtarom. (K. Setia Widodo)