logo

Kampus

Kuatnya Budaya Patriarki Jadi Penghalang Akses Pendidikan Bagi Perempuan

Kuatnya Budaya Patriarki Jadi Penghalang Akses Pendidikan Bagi Perempuan
Dosen Universitas Nasional Jeanne Novelline Tedja (Istimewa)
Bhakti Hariani, Kampus22 April, 2022 13:58 WIB

Eduwara.com, JAKARTA – Budaya Patriarki yang sangat kuat di Indonesia mempengaruhi kesempatan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Orang tua akan lebih memprioritaskan anak laki-laki untuk menempuh pendidikan tinggi ketimbang anak perempuannya.

Dosen Universitas Nasional Jeanne Novelline Tedja menuturkan, masih ada budaya yang menganggap anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya hanya akan mengurus anak dan berada di dapur.  Ada lagi anggapan bahwa perempuan lebih baik menikah di usia dini dan tidak meneruskan ke pendidikan tinggi daripada nantinya menjadi perawan tua. 

“Adapun dari faktor internal perempuan sendiri, ada yang merasa berada di zona nyaman, memilih tidak meneruskan sekolah dan menunggu untuk menikah dan menggantungkan hidupnya pada suami. Pandangan ini harus diubah,” ujar Jeanne kepada Eduwara.com, Kamis (21/4/2022) di Jakarta.

Pendidikan di jenjang menengah dikatakan Jeanne, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa jumlah peserta didik laki-laki dan perempuan di Indonesia hampir seimbang. “Saya akui, tidak ada diskriminasi dalam kebijakan wajib belajar 12 tahun,” kata Jeanne yang juga berprofesi sebagai praktisi perlindungan anak. 

Namun, hal yang membutuhkan perhatian serius, lanjut Jeanne, adalah adanya fakta bahwa di Indonesia jumlah angka perkawinan anak masih tinggi, terlebih di masa pandemi yang mengalami peningkatan. Ketika perkawinan anak terjadi, maka anak-anak perempuan mengalami putus sekolah.

Kesetaraan Gender

Lebih lanjut diungkap Nane, dilihat berdasarkan indeks kesetaraan gender yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP), Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara, atau terendah ketiga se-ASEAN. Artinya, kesetaraan gender di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lainnya baik di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan keterwakilan dalam politik. 

Keterwakilan perempuan di DPR-RI misalnya, kata Jeanne, hanya 20 persen atau 120 dari 575 anggota DPR RI. Padahal keterwakilan perempuan menjadi sayarat mutlak bagi terciptanya kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan, dan anak.  

Wanita peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia ini berharap pada Hari Kartini 2022 ini agar semakin banyak perempuan menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting. “Kenapa? Karena perempuan akan menjadi seorang ibu yang artinya akan menjadi pendidik utama dan pertama anak, generasi penerus bangsa,” ujar Jeanne.

Secara historis, lanjut dia, wanita menjadi pengasuh utama anak-anak, dan sumber daya yang ada dalam diri mereka lebih cenderung digunakan untuk memberi manfaat bagi anak-anak daripada yang yang ada pada pria. 

“Ada pepatah yang mengatakan: 

If you educate a girl, you educate a nation.

 Perempuan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bangsa dalam rangka mempersiapkan anak-anak mereka menjadi generasi penerus yang berkualitas dan memiliki daya saing yang akan menjadi sumber daya manusia tangguh bangsa ini,” pungkas Jeanne Novelline.

Read Next