logo

Kampus

Mahasiswa FISIP Menilai Penegakan Hukum Amburadul

Mahasiswa FISIP Menilai Penegakan Hukum Amburadul
Kampus Universitas Brawijaya Malang ((EDUWARA/Dok. Humas UB))
Fathul Muin, Kampus06 Desember, 2021 22:40 WIB

Eduwara.com, MALANG — Penelitian yang dilakukan Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) Malang mengungkapkan bahwa mahasiswa FISIP seluruh Indonesia menilai selama 10 tahun terakhir penegakan hukum di Indonesia berjalan amburadul. 

Penelitian tentang Aktivisme dan Partisipasi Politik Mahasiswa tersebut dilakukan dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya (UB) Malang, M Faishal Aminuddin dan Muhammad Fajar Ramadlan.

"Kami melakukan penelitian ke mahasiswa FISIP seluruh Indonesia mulai Agustus hingga akhir September. Jumlah sampel yang kami gunakan 497 mahasiswa," ucap Muhammad Fajar, salah satu tim peneliti, Senin (6/12/2021).

Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa selama 10 tahun terakhir mahasiswa menilai tidak banyak perbaikan dalam kehidupan sosial, ekonomi (43 persen), stabilitas keamanan (49 persen), harmoni dan kerukunan (49 persen), serta kehidupan politik yang demokratis (47 persen).

"Bahkan tentang penegakan hukum, menurut penilaian mahasiswa, berjalan amburadul," ungkap Fajar.

Dalam penelitian tersebut juga disebutkan bahwa mahasiswa yang berada dalam sikap yang sangat setuju terhadap kesetaraan di depan hukum (79,3 persen), kebebasan beragama dan berkeyakinan (82,1 persen).

Kemudian perlindungan negara terhadap warga negara terhadap agama dan kepercayaan (75,9 persen), berhak menentukan agama kepercayaan bahkan tidak beragama (51,9 persen), perlindungan negara terhadap kebebasan berbicara, berorganisasi dan berpendapat (72,8 persen), kebijakan publik yang harus diambil secara demokratis (70 persen) serta pembatasan terhadap keistimewaan pejabat (57,5 persen).

Mahasiswa juga menyatakan sikap kurang setuju pada isu-isu yang berkenaan dengan pengendalian bisnis dan korporasi terhadap pengendalian negara (43,3 persen), orientasi keagamaan yang mencampuri urusan publik (39 persen), serta pemisahan antara negara dan agama (30,8 persen).

Sementara pada kinerja sektor keuangan 52 persen mahasiswa menilai baik, terhadap kinerja pemerintah pusat 43 persen menilai baik, tetapi 41 persen menilai kurang baik. Sedangkan untuk pemerintah daerah 46 persen menilai baik dan 41 persen menilai kurang baik.

Terkait dengan kinerja legislatif, yakni DPR RI 54 persen menilai kurang baik, terhadap DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota 48 persen dinilai kurang baik, termasuk partai politik dinilai kurang berkinerja baik (50 persen. 

Sedangkan pada sektor institusi penegakan hukum, kinerja kepolisian 40 persen menilai baik, dan 36 persen menilai kurang baik. Pada kinerja kejaksaan, 44 persen menilai baik dan 40 persen menilai kurang baik. Adapun kinerja kehakiman 45 persen menilai kurang baik, dan 39 persen menilai baik.

Mahasiswa menilai, sektor yang perlu mendapat perbaikan adalah sektor pembuatan kebijakan (27 persen), kemudian sektor keuangan (20 persen), sektor sosial 19 persen, sektor keamanan 14 persen, sektor pertahanan 11 persen dan hanya sektor keagamaan 9 persen.

Omnibus law, revisi UU KUHP, menurut Fajar, menjadi isu utama gerakan mahasiswa selama kurang lebih 2 tahun terakhir. Hal-hal ini yang menjadikan pembuatan kebijakan menjadi sektor yang paling bermasalah.

Gerakan Mahasiswa

Pembahas hasil penelitian ini, Panji A Permana, menilai dalam keterlibatan pada politik elektoral, masih kuatnya sentimen anti partai dan anti politik praktis. Sekalipun dalam politik praktis mahasiswa masih memberi penilaian akan pentingnya isu-isu citizenship.

Menurut dia, gerakan mahasiswa pasca reformasi memiliki jiwa zaman (zeitgeist) yang berbeda dibandingkan dengan gerakan mahasiswa di masa lalu (98, 80an dan 65, red).

"Gerakan mahasiswa pasca reformasi berhadapan dengan beberapa tantangan, seperti ketiadaan musuh bersama, menurunnya derajat warisan dari gerakan mahasiswa sebelumnya, mencari model partisipasi politik dalam rezim demokratis, berhadapan dengan wajah ‘otoritarianisme’ yang tidak lagi hanya bersumber dari negara, melainkan juga dari masyarakat, elit, pemilik modal/oligarki, dan sebagainya," ucapnya.

Selain itu, kata dia, tantangan gerakan mahasiswa juga hadir dari tekanan sistem perkuliahan, serta diversifikasi ruang publik melalui media sosial yang menjadikan arena publik dan social influencer yang tidak lagi terkonsentrasi.

Read Next