logo

Sains

Manfaatkan Kayu Merbau, UGM Hadirkan Pewarna Alami

Manfaatkan Kayu Merbau, UGM Hadirkan Pewarna Alami
Ketua Tim Riset INDI-UGM Edia Rahayuningsih saat memaparkan hasil penelitian mengenai pemanfaatan serbuk kayu Merbau di Papua untuk dijadikan pewarna alam tekstil alami. (EDUWARA/Humas UGM)
Setyono, Sains22 Februari, 2022 20:16 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Tergabung dalam Tim Riset Indonesia Natural Dye Institute (INDI), para peneliti dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) terlibat dalam pengembangan pewarna alami tekstil di Papua. Serpih kayu Merbau yang melimpah menjadi bahan riset.

Di dalam tim ini, sebanyak enam peneliti senior, dibantu tiga peneliti madya dan 25 mahasiswa melakukan penelitian dan pengembangan peralatan untuk pengembangan industri pemanfaatan potensi sumber daya alam pewarna alami. 

Dalam paparannya, peneliti pewarna alami UGM Edia Rahayuningsih menyatakan saat ini hampir 90 persen industri tekstil di Indonesia menggunakan pewarna sintetis yang sebagian besar diimpor.

"Kandungan gugus azo, amino aromatis, naftol, asam, basa, direct, dan senyawa reaktif yang terkandung di pewarna sintetis berbahaya bagi pengguna maupun lingkungan," katanya saat memaparkan hasil penelitiannya, Selasa (22/2/2022).

Padahal Indonesia di abad 20 dikenal sebagai produsen dan pemasok pewarna alami di dunia karena melimpahnya sumber bahan baku. Kekayaan sumber daya pewarna alami diwarisi secara turun temurun.

Melalui program INDI, UGM melakukan program hilirisasi produk purwarupa atau teknologi bersama dengan mitra CV Karui Jayapura dengan membangun miniplant produksi serbuk pewarna alami dari limbah industri penggergajian dari kayu Merbau di Jayapura Papua.

"Limbah dari hasil hutan ini sangat potensial digunakan sebagai sumber bahan baku industri pewarna alami," katanya.

Edia, yang juga merupakan Ketua Tim INDI-UGM, mengatakan limbah dari hasil hutan di Papua bisa mencapai 20-40 persen dari total massa pohon. Sayangnya, selama ini limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal, yang biasanya dibuang begitu saja ke lingkungan atau dibakar sehingga menjadi masalah di lingkungan.

Dengan pendanaan Kemendikbudristek, pihaknya telah memproduksi alat untuk pengolahan serbuk alami yang dikelola CV Karui Jayapura. Serbuk pewarna alami bisa mencapai 1,4 kuintal perhari karena bahan baku melimpah.

Edia berharap keberadaan miniplant produk pewarna alami bisa dikembangkan ke tahap komersialisasi atas dukungan pemerintah, industri dan komunitas agar bisa digunakan para perajin batik, industri tekstil dan mendukung program SDGs.

Selain dari bahan baku Merbau di Papua, menurut Edia, pewarna alami juga bisa dibuat dari bahan baku yang berasal dari tanaman indigofera, limbah kakao, limbah sawit, dan limbah kulit kayu mangrove.

Inisiator INDI UGM Ika Dewi Ana, mengatakan sebelum menghasilkan miniplant produk serbuk pewarna alami, peneliti telah bekerja keras dalam mengembangkan teknik industri untuk menghasilkan pewarna alami yang berkualitas.

"Dari mengorek sejarah, filosofi, dan teknik industri pewarna alam sampai meneliti kestabilan warna agar tidak cepat luntur, saya kira inovasi pewarna alami ini menjadi bagian dari teknologi masa depan," katanya.

Direktur CV Karui Jayapura, Alexander Sorondanya, tidak menyangka jika limbah kayu Merbau yang dibuat begitu saja ternyata bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna bagi industri tekstil.

"Tidak terpikirkan sebelumnya. Setelah ketemu tim dari UGM kita baru tahu potensi Merbau bisa diolah menjadi zat pewarna alami," pungkasnya.

Read Next