Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA – Salah satu isu dari kegagalan tumbuh kembang anak adalah stunting yang bersumber dari pola asuh, pola makan yang kurang baik dan sanitasi yang kurang layak. Oleh karena itu, orang tua perlu memberi perhatian pada tumbuh kembang anak dalam masa emasnya yaitu 1.000 hari pertama kehidupan sejak dalam masa kandungan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga dalam Webinar Nasional Cegah Stunting Untuk Generasi Emas Indonesia secara virtual, Kamis (17/3/2022).
“Penurunan stunting di Indonesia dalam 8 tahun terakhir ini (2013-2021) masih berada di angka 2,0 persen. Khusus tahun 2021, angka stunting adalah 24,4 persen. Padahal target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah penurunan sebesar 14 persen atau 2,7 persen pertahun. Untuk itu perlu terobosan dalam mendorong ketepatan intervensi baik gizi spesifik maupun sensitif,” ungkap Bintang Puspayoga dalam siaran pers yang dilansir Eduwara.com, Sabtu (18/3/2022), dari laman resmi KemenPPPA.
Data Studi Status Gizi Indonesia 2021 menunjukan, dari 34 provinsi di Indonesia, yang mendapat kategori baik hanya 1 provinsi saja, yakni Provinsi Bali.
Menurut Bintang Puspayoga, stunting bersumber dari pola asuh, pola makan yang kurang baik dan sanitasi yang kurang layak. Kemudian rendahnya kualitas pola asuh berkaitan dengan ketidaksiapan menjadi orang tua.
“Di balik situasi gizi buruk, terdapat fenomena sosial yang menentukan tetapi ternyata justru kurang diperhatikan yaitu rendahnya kualitas pengasuhan. Pengasuhan yang buruk, salah satunya dipicu oleh perkawinan usia anak. World Health Organization (WHO) menyebutkan, bahwa salah satu masalah stunting adalah karena tingginya pernikahan dini," ujar dia.
Di samping risiko melahirkan bayi stunting, perkawinan anak sesungguhnya juga merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Perkawinan anak, baik itu anak laki-laki maupun perempuan, adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk menyelesaikan isu-isu tersebut diperlukan komitmen, sinergi, dan kerjasama lintas sektor dalam mencegah perkawinan anak.
“Kami telah mencanangkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA) dan secara langsung mengawal penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk Pencegahan Perkawinan Anak. KemenPPPA juga secara khusus menandatangani perjanjian kerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Pendewasaan Usia Perkawinan Anak untuk Peningkatan Kualitas Hidup Sumber Daya Manusia (SDM)," jelas dia.
Upaya strategis lainnya, yaitu mengawal pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dispensasi Kawin sebagai turunan Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lebih lanjut, Bintang menjelaskan KemenPPPA telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan program dengan empat sasaran strategis. Pertama, melalui Keluarga KemenPPPA membentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). Kedua, melalui Anak KemenPPPA membentuk dan melibatkan Forum Anak (FAN) sebagai Pelopor dan Pelapor (2P).
Ketiga, melalui masyarakat KemenPPPA mengembangkan kampung model pencegahan stunting pada anak balita yang disebut dengan Kampung Anak Sejahtera (KAS). Keempat, memastikan Fasilitas Pelayanan Kesehatan menjadi ramah anak melalui Pelayanan Ramah Anak (PRAP) di Puskesmas.
Bintang optimis dan percaya jika percepatan penurunan stunting akan tercapai asalkan ada sinergi dan kolaborasi lintas sektor. Kolaborasi itu merupakan kekuatan besar bagi bangsa ini dalam menurunkan angka stunting nasional.
"Bersama-sama, kita bisa cegah stunting untuk mewujudkan generasi emas Indonesia, menuju cita-cita Indonesia Layak Anak (IDOLA) Tahun 2030 dan Indonesia Emas Tahun 2045,” pungkas dia. (*/K. Setia Widodo)