logo

Kampus

Mitigasi Bencana Hidrometeorologi Butuh Kolaborasi Pentahelix

Mitigasi Bencana Hidrometeorologi Butuh Kolaborasi Pentahelix
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam seminar daring yang digelar Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia (UI). (EDUWARA/Humas UI)
Bhakti Hariani, Kampus21 Februari, 2022 17:57 WIB

Eduwara.com, JAKARTA – Sepanjang 2021, di Indonesia terdapat 3.018 bencana alam berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebagian besar bencana tersebut di bidang hidrometeorologi. 

Bencana jenis ini diakibatkan oleh parameter meteorologi (curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin), sehingga diperlukan upaya mitigasi bencana untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana. 

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menuturkan, kondisi iklim di Indonesia berada di kepulauan dan dilintasi garis khatulistiwa yang kompleks dan dinamis, berbeda dengan wilayah yang ada di daratan benua.

“Hal ini membuat faktor iklim dan cuaca yang berubah di Indonesia cukup banyak, contohnya saat ini kita masyarakat di Indonesia sedang mengalami ‘La Nina’, yang dipengaruhi oleh suhu muka air laut. Kondisi semakin menghangatnya suhu muka air laut di Indonesia ini menyebabkan kondisi cuaca di Indonesia semakin kompleks,” ujar Dwikorita.

Dwikorita menyampaikan hal tersebut dalam seminar daring yang digelar Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia (UI) seperti dilansir dari siaran pers yang dikirimkan Biro Humas dan KIP Universitas Indonesia kepada Eduwara.com, Senin (21/2/2022).

Lebih lanjut dipaparkan Dwikorita, dibutuhkan kolaborasi bersama dengan pihak lain dalam upaya mitigasi bencana di Indonesia. Peran penta helix, kata Dwikorita, yakni akademisi, pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan media diperlukan dalam membangun kolaborasi dalam observasi dan pengamanan sarana-prasarana observasi, serta penyebarluasan informasi dan mitigasi bencana. 

Sementara itu, Deputi I Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya menuturkan bahwa komunitas memiliki peran penting dalam kesiapsiagaan dan menghadapi bencana, terutama bencana hidrometeorologi di Indonesia.

“Tidak semua fenomena alam menjadi bencana yang menyebabkan kerugian materiil, korban jiwa, kerusakan lingkungan. Sejak awal tahun 2022, sudah ada lebih dari 500 kejadian bencana yang tercatat di BNPB. Dari sini, perlu ada pemahaman dari bukan hanya risiko bencana saja, tapi juga upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan risiko bencana tersebut,” papar Raditya.

Berdasarkan studi dari Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) (2015-2030), terdapat kerangka pengurangan bencana global berdasarkan empat hal prioritas untuk dilakukan. 

“Pertama, pemahaman mengenai risiko bencana. Kedua, penguatan tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana. Ketiga, berinvestasi dalam pendidikan risiko bencana untuk ketahanan. Terakhir, meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif,” tutur Raditya.

Pendidikan Kebencanaan

Lebih lanjut dipaparkan Raditya, Indonesia dan Jepang memiliki kemiripan dalam segi geografis, salah satunya kondisi kerentanan bencana, seperti gempa bumi yang juga sering terjadi di Indonesia karena intensitas seringnya pergerakan lempeng tanah. Dalam upaya pencegahan bencana yang terjadi, Jepang memiliki sistem pendidikan sejak dini untuk menghadapi pengurangan risiko bencana. 

Tim Peneliti Literasi Kebencanaan Kota Bukittinggi Mukhlis Arifin dalam penelitian tesisnya, membahas sistem manajemen risiko bencana di Jepang yang dapat diimplementasikan oleh masyarakat Indonesia dalam menghadapi bencana yang kemungkinan besar bisa terjadi di masa depan. 

“Penanggulangan bencana secara holistik merupakan salah satu kebijakan prioritas di Jepang. Salah satunya dengan pendidikan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana,” tutur Mukhlis.

Anak-anak di Jepang, lanjut Mukhlis, sudah diberikan pendidikan dasar dalam upaya penanganan bencana.  Jepang melakukan penelitian yang cukup serius mengenai aspek-aspek bencana dan bagaimana pengembangan upaya bencana di negara tersebut. 

“Mereka juga memiliki sistem pencegahan bencana yang kuat, proyek konstruksi yang kuat dan diusahakan mampu bertahan ketika terjadi bencana, tindakan medis yang baik, dan sistem informasi dan komunikasi yang kuat,” tutur Mukhlis.

Read Next