Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA - Fenomena ‘klitih’ di Yogyakarta telah meluas, dari kejahatan jalanan menjadi konten digital yang berpotensi memicu glorifikasi kekerasan di kalangan remaja.
Menanggapi keresahan ini, Tim Riset Program Kreativitas Mahasiswa Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menawarkan strategi inovatif melalui narasi tandingan digital atau counter narrative digital.
Ketua tim PKM-RSH UGM, Vannia Ayu Kusuma Wardhani, menerangkan fenomena klitih yang awalnya dianggap sebagai ajang pencarian jati diri oleh remaja perlu digeser menjadi perilaku yang harus ditolak.
“Strategi counter narrative digital ini hadir sebagai upaya untuk menggeser narasi tentang klitih. Dari sesuatu yang dianggap keren dan pencarian jati diri, menjadi sesuatu yang perlu ditolak dan dijauhi,” ujar Vannia, Senin (13/10/2025).
Penelitian yang dibimbing dosen Fakultas Psikologi UGM, Indrayanti, melibatkan survei kepada 100 pelajar SMA/SMK di Yogyakarta, wawancara mendalam, dan scraping konten digital di media sosial X. Tim riset ini terdiri atas Vannia Ayu Kusuma Wardhani dan Rika Horifatiyah dari Fakultas Psikologi, Nasywa Adinda Ibrahim dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), serta Khoirun Nisa’ Yulianti dan Satria Tegar Perdana dari Fisipol UGM.
Edukasi Digital
Khoirun Nisa’ Yulianti, anggota tim, menjelaskan inti dari riset ini adalah menciptakan narasi tandingan yang relevan dengan remaja. Alih-alih hanya menakut-nakuti, pendekatan tim lebih menekankan pada edukasi digital yang positif dan reflektif.
“Konten edukasi di media sosial adalah kuncinya, karena ini akan mengubah cara pandang remaja Yogyakarta agar tidak menganggap kekerasan sebagai simbol keberanian,” kata Khoirun, sembari menyoroti potensi platform seperti TikTok dan Reels yang populer di kalangan remaja.
Tim PKM-RSH Counter Klitih mengemas pesan-pesan counter-narrative ini dalam bentuk poster, video kreatif, dan kampanye di media sosial. Konten-konten ini bertujuan untuk membentuk ruang digital yang lebih aman dan konstruktif bagi remaja, serta mengubah narasi yang beredar di media sosial untuk menghentikan normalisasi kekerasan.
Anggota tim lainnya, Satria Tegar Perdana, berharap hasil riset ini tidak hanya berhenti di ranah akademik, melainkan juga dapat memberikan masukan kebijakan untuk perlindungan anak dan pencegahan kekerasan berbasis digital.
“Harapannya, hasil riset ini tidak berhenti di jurnal, tetapi juga melahirkan strategi nyata seperti kampanye digital yang bisa dijalankan komunitas maupun sekolah,” tuturnya.