logo

EduBocil

Penaikan Tarif Cukai Rokok, Perlindungan Anak, dan Kerugian Ekonomi

Penaikan Tarif Cukai Rokok, Perlindungan Anak, dan Kerugian Ekonomi
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS SKSG-UI) Aryana Satrya dalam konferensi pers “Merespon Kenaikan Cukai Hasil Tembakau 2022” yang digelar oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Selasa (14/12/2021) di Jakarta. (Eduwara/Bhakti)
Redaksi, EduBocil14 Desember, 2021 14:00 WIB

Eduwara.com, JAKARTA – Penaikan tarif cukai rokok pada 2022 disambut baik oleh kalangan akademisi Universitas Indonesia karena diyakini secara langsung dan tidak langsung berdampak positif bagi perlindungan anak dan masyarakat rentan.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok 2022 rata-rata sebesar 12%  pada 13 Desember 2021. Angka penaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan dua tahun ke belakang yang mencapai 12,5 persen (2021) dan 23,5 persen (2020). 

Dipaparkan Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS SKSG-UI) Aryana Satrya, kenaikan cukai ini memberikan perlindungan kepada anak dan masyarakat rentan. 

Merokok, berdasarkan data PKJS-UI pada tahun 2018, membuat meningkatkan risiko stunting. Bayi yang lahir di rumah tangga perokok memiliki risiko stunting di periode emas pertumbuhannya sebesar 5,5 persen lebih tinggi dibanding keluarga non-perokok. 

“Rokok menjadi beban pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua setelah makanan dan minuman. Ini berdasarkan data BPS tahun 2021. Sebesar 1 persen kenaikan belanja rokok meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen pada rumah tangga,” papar Aryana dalam konferensi pers Merespon Kenaikan Cukai Hasil Tembakau 2022 yang digelar oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Selasa (14/12/2021).

Lebih lanjut dipaparkan Aryana, naiknya cukai rokok bisa memotivasi perokok untuk berhenti merokok sehingga keuangan rumah tangga untuk pemenuhan gizi keluarga tidak lagi dikorupsi oleh pengeluaran untuk rokok. Dengan demikian, keluarga lebih sehat dan angka stunting bisa terus ditekan.

Hasil studi PKJS-UI tahun 2020 menunjukkan selain faktor teman sebaya, seorang anak terdorong untuk merokok karena harganya yang murah. “Kami melihat kenaikan cukai rokok mendukung pencapaian target RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] Pemerintah 2024 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7%, serta menurunkan prevalensi stunting pada usia balita menjadi 19%,” tutur Aryana.

Mitos Kerugian Ekonomi

Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengapresiasi langkah pemerintah atas kenaikan cukai. Menurutnya, Pemerintah sudah seharusnya tidak lagi takut dengan mitos-mitos kerugian ekonomi ala industri tembakau yang menghambat dinaikkannya cukai rokok.

“Standar keterukuran pengendalian tembakau sudah jelas bahwa derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat, bukan sakit-sakitan karena rokok. Jadi rokok mahal itu sudah seharusnya dilakukan, tak perlu mencari-cari justifikasi untuk menunda kenaikan cukai rokok setiap tahunnya. Kita ini sedang berinvestasi untuk masa depan,” papar Hasbullah.

Berdasarkan hasil studi dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), kenaikan cukai rokok tidak serta merta berdampak buruk bagi perekonomian, seperti yang selama ini kerap dikhawatirkan. 

Yurdhina Meilissa selaku Chief Strategist CISDI mengatakan, kenaikan tarif cukai hingga 45 persen pun diperkirakan akan tetap menghasilkan dampak positif pada perekonomian dengan nilai output positif dan penciptaan lapangan pekerjaan. 

“Maka, kenaikan rata-rata 12 persen yang akan berlaku tahun depan, diperkirakan tidak akan berdampak signifikan pada kondisi ekonomi,” ujar Yurdhina Meilissa.

Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 12 persen adalah keniscayaan regulasi, yang patut diapresiasi, apalagi disertai dengan simplikasi sistem cukai rokok. 

“Agar pengendalian rokok dengan instrumen cukai itu benar-benar efektif untuk pengendalian konsumsi, maka harus disertai dengan upaya pengendalian dari sisi pemasaran rokok. Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah agar melarang penjualan rokok secara ketengan, atau per batang [single stick sales], sebab penjualan rokok secara ketengan menjadi cara yang paling mudah bagi anak-anak dan remaja untuk membeli rokok,” pungkas Tulus. (Bhakti)

Read Next