logo

Art

Pengajian Artistik #12, Sanggar Pasinaon Pelangi Solo Datangkan Seniman Senior Kethoprak

Pengajian Artistik #12, Sanggar Pasinaon Pelangi Solo Datangkan Seniman Senior Kethoprak
Pengajian Artistik #12: Jatuh Bangun Seni Tradisi, Jumat (2/9/2022) malam di Sanggar Pasinaon Pelangi, Mojosongo, Solo. (EDUWARA/K. Setia Widodo)
Redaksi, Art03 September, 2022 22:34 WIB

Eduwara.com, SOLO – Ketika membicarakan seni tradisi, tradisi itu tiada henti. Ketika sudah memilih jalan kesenian, jangan takut jatuh. Apapun cita-cita yang sudah diimpikan, harus sampai tujuannya.

Demikian pesan yang diucapkan seniman senior kethoprak di Kota Solo, Randimo. Pesan itu dia sampaikan dalam acara Pengajian Artistik #12: Jatuh Bangun Seni Tradisi, Jumat (2/9/2022) malam di Sanggar Pasinaon Pelangi, Mojosongo, Solo.

Dalam kesempatan tersebut, pria yang kerap disapa Mbah Randimo itu menuturkan mengenai perkembangan seni kethoprak di wilayah Solo dan Jogja. Istilah kethoprak sekarang ini memiliki sejarah panjang yang ada kaitannya dengan kethoprak lesung.

Kethoprak lesung berawal dari kesenian Srandul di Wonosari, Gunungkidul, Jogja. Iringan Srandul dulu hanya menggunakan dua angklung, dua rebana kecil dan besar. Penerangan hanya menggunakan oncor,” ujar dia.

Dari Srandul, sambung dia, kemudian menjadi Srunthul. Iringan juga ditambah satu saron dan hanya menembangkan pantun Jawa atau parikan saja. Srunthul juga belum mengenal kostum, masih memanfaatkan barang-barang dari alam. 

Setelah masuk ke Kota Jogja, Srunthul digubah menjadi kethoprak lesung. Penabuh lesung harus perempuan berjumlah tujuh orang. Penggubahan tersebut terjadi sebelum 1960. Kemudian, mulai tahun 1970 mulai masuk ke Solo dan diubah.

Kethoprak lesung saat itu mulai dilirik Mangkunegaran. Lalu dikembangkan seperti mulai ada riasan. Tepat tanggal 16 Juni tahun 1970 sudah menjadi kethoprak seperti yang sekarang ini,” ujar dia.

Perkembangan Saat Ini

Kethoprak mengalami sebuah pertukaran kebudayaan. Menurut penuturan Mbah Randimo, sebenarnya seni kethoprak berasal dari Kota Solo. Kemudian diboyong ke Jogja ketika seni wayang orang di kota pelajar sangat berkembang. Terjadilah proses pertukaran, sehingga muncul istilah KethoprakMataraman.

Mbah Randimo mengungkapkan, perjalanan kethoprak juga tak lepas dari kethoprak tobong yang berawal mula dari juragan Cina Pathuk di Jogja. Tahun 1968, juragan tersebut membuat sistem pementasan di pasar malam.

Kethoprak tobong awalnya hanya memakai bagor untuk kelir. Lalu ada kemajuan lagi dengan karung gandum. Tahun 1980an sudah menggunakan kain. Sekarang kethoprak sudah modern. Jika cerita-cerita yang dimainkan pada zaman dahulu dimainkan saat ini, penonton tidak akan mau. Tidak akan jalan. Eranya model digitalisasi, sudah beda,” tegas dia.

Pada kesempatan itu pula, Mbah Randimo berpesan untuk mengembangkan sanggar-sanggar kethoprak di Kota Solo. Karena menurut kacamata dia, kesenian kethoprak masih kuat dilestarikan di sanggar-sanggar seni Kota Solo.

Selain itu, dia juga berharap ada paduan antara kethoprak dengan teater modern, di mana sebenarnya keduanya sama. Hanya berbeda pada sejarah perkembangannya. 

“Maka, kethoprak dan teater itu jika dipadu padankan lebih bagus. Kita harus pintar mengemas agar masyarakat lebih paham,” pesan dia. (K. Setia Widodo)

Read Next