Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA – Perkawinan anak memberikan berbagai dampak negatif jangka panjang, di antaranya masalah kesehatan reproduksi perempuan, tingginya angka stunting, hingga munculnya kekerasan dalam rumah tangga.
Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Rini Handayani menyebutkan masih banyak yang belum menyadari bahwa perkawinan anak memicu banyak masalah.
"Seperti kesehatan reproduksi perempuan dan secara ekonomi belum siap karena justru perkawinan anak banyak karena faktor kesulitan ekonomi. Masalah yang menghadang lainnya adalah isu stunting, hilangnya potensi kualitas pendidikan anak dan rentan kekerasan dalam rumah tangga,” kata Rini seperti dilansir Eduwara.com, Selasa (24/1/2023), dari laman KemenPPPA.
Isu perkawinan anak, sambung dia, sudah terjadi sejak lama. Tetapi belakangan ini kasus-kasus tersebut kembali muncul di media. Hal itu menunjukan bahwa masyarakat sudah semakin sadar akan fenomena perkawinan anak dan dukungan edukasi bahaya perkawinan anak sangat dibutuhkan.
Merespon hal itu, KemenPPPA didukung oleh Kementerian/Lembaga, rekan-rekan pemerhati anak dan juga media terus memperkuat komitmen perlindungan dan pemenuhan hak bagi anak. Salah satunya melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974, dimana pada pasal 7 menyatakan usia minimum perkawinan laki-laki dan perempuan menjadi usia 19 tahun.
Rini menyampaikan, pasca disahkannya UU Nomor 6 tahun 2019 permohonan dispensasi kawin meningkat pada tahun 2020 namun, dua tahun terakhir kembali mengalami penurunan.
Menurut Data Badan Peradilan Agama (Badilag), permohonan dispensasi kawin pada tahun 2021 sebanyak 61.000, sedangkan tahun 2022 sebanyak kurang lebih 50.000 permohonan.
Data dari Pusat Data Perkara Peradilan Agama terdapat empat provinsi dengan angka dispensasi kawin yang tinggi di antaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
“Meskipun tren permohonan dispensasi kawin menurun, tapi jumlahnya tetap sangat besar. Kami masih memiliki pekerjaan rumah besar karena masih terdapat empat provinsi yang memiliki jumlah permohonan dispensasi kawin yang tinggi," jelas dia.
Melibatkan Berbagai Sektor
Menurut Rini Handayani, pihaknya telah berupaya untuk mewujudkan target penurunan angka perkawinan anak pada tahun 2030 sebesar 6,94 persen.
Untuk melanjutkan upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak, KemenPPPA sudah memilih Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan akan terus melibatkan berbagai sektor mulai dari pemerintah, sektor pendidikan, dunia usaha, media, hingga lingkup pemerintahan terkecil yakni desa dan kelurahan melalui program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Sementara itu, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan KemenPPPA, Rohika Kurniadi Sari menyampaikan, upaya yang telah dilakukan KemenPPPA di antaranya telah ditandatanganinya perjanjian kerja sama antara Sekretaris Kementerian PPPA dengan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung terkait Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Dispensasi Kawin dan Perceraian.
“Kami melakukan koordinasi dengan Badilag supaya ke depan ada data terpilah pengajuan permohonan dispensasi kawin serta data perceraian berdasarkan usia dan pendidikan. Dengan data terpilah, intervensi akan lebih tepat sasaran, terutama usia kawin di bawah 18 tahun,” ungkap dia.
Adapun proses dispensasi kawin di pengadilan telah diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019. Selain itu, pemerintah telah mengupayakan pemenuhan sertifikasi Hakim Anak dan pelatihan Konvensi Hak Anak bagi semua hakim yang menangani kasus dispensasi kawin di seluruh Indonesia.
"KemenPPPA akan terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak agar dapat menekan angka perkawinan anak di Indonesia sehingga target Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045 dapat terwujud," pungkas dia. (K. Setia Widodo/*)