logo

Art

Usung Konsep Baru, International Rain Festival 2023 Libatkan Generasi Muda di Belakang Layar

Usung Konsep Baru, International Rain Festival 2023 Libatkan Generasi Muda di Belakang Layar
Penampilan Mugiyono Kasido bersama Christina Duque yang berasal dari Equador dalam International Rain Festival 2023 pada Sabtu (21/1/2023) malam, di Mugi Dance Studio, Kartasura, Sukoharjo. (EDUWARA/Dok. IRF 2023)
Redaksi, Art24 Januari, 2023 00:28 WIB

Eduwara.com, SUKOHARJO – Sudah sembilan tahun International Rain Festival (IRF) dihelat oleh Mugi Dance Studio. Gelaran tersebut merupakan wadah para seniman tari dari Indonesia maupun luar negeri untuk mempersembahkan karya terbaiknya. 

Seperti namanya, festival diadakan dalam rangka mensyukuri hujan sebagai anugrah Tuhan kepada segenap manusia. Tahun ini, IRF diselenggarakan pada Sabtu (21/1/2023) malam dengan menampilkan sembilan seniman tari. 

Mereka adalah Teater Kita dari Kalimantan Selatan, Kinanti Sekar dari Yogyakartaa, Nini Gondrong yang berasal dari Aceh, dan Nanda dari Riau. Kemudian Omah Citra Khayangan, Sudiharto dari Yogyakarta, Iing Sayuti dari Indramyu, Sekar Laras dari Majalengka, dan Christina Duque dari Equador.

Konsep pertunjukan IRF tahun ini tidak lagi menggunakan live streaming seperti dua tahun terakhir. Pimpinan Mugi Dance Studio, Mugiyono Kasido berpendapat, hal tersebut bertujuan untuk melatih para penonton merasakan kembali atmosfer panggung secara langsung.

“Dua tahun terakhir sudah menggunakan virtual. Kalau sudah keasyikan virtual terus menerus, feel-nya akan hilang dan malas untuk keluar. Jadi sisi humanity seperti sentuhan, saling menyapa, bertemu orang akan lain. Ini mengarah ke sana, untuk mengembalikan lagi interaksi dan bersosialisasi,” kata Mugiyono kepada Eduwara.com, Minggu (22/1/2023), di kediamannya.

Helatan IRF 2023 juga menggunakan beberapa konsep baru. Mulanya, terdapat lebih dari satu panggung pertunjukan. Hal tersebut masih digunakan sampai gelaran IRF sebelum pandemi Covid-19. 

Manager Mugi Dance Studio, Nuri Aryati menjelaskan, IRF 2023 hanya terdapat satu panggung dengan memanfaatkan kolam bundar. Konsep tersebut belum pernah dipakai di penyelenggaraan sebelumnya.

“Jadi panggungnya di dalam kolam namun tidak langsung di atas air, melainkan di bagian yang disemen. Karena lebar semen hanya 1 meteran, dan kalau untuk menari terbatas sekali ruang geraknya maka ditambah dua meja di sisi kiri dan kanan sehingga lebih lebar. Hampir 80 persen kolamnya tertutupi untuk panggung, namun airnya tetap terlihat. Jadi masih terlihat kalau panggungnya di atas kolam,” jelas dia.

Tak hanya itu, sambung Nuri, sebelah kanan dan kiri panggung ditambah empat air mancur yang tidak terlalu tinggi. Penampil pun dibebaskan untuk menggunakan air mancur atau tidak. Namun sebagian besar para penampil memanfaatkan air mancur tersebut dengan merespon dan bereksplorasi dengan cipratan air ketika membawakan karya masing-masing.

Konsep panggung tersebut memang sudah direncanakan dengan matang. Menurut Nuri, inovasi-inovasi konsep tidak perlu menunggu gelaran IRF yang kesepuluh.

“Karena pandemi selama dua tahun dilaksanakan secara daring dan menggunakan satu panggung saja dan resource juga belum sebanyak dulu, sehingga kami membuat yang simpel tetapi eksklusif dengan cara panggungnya benar-benar digarap, baru, fresh, dan penampil-penampil yang berkualitas,” paparnya.

Pelaksanaan pun, lanjut dia, tidak seperti gelaran pada tahun-tahun sebelum pandemi yang memerlukan waktu sampai tiga hari. Tahun ini hanya dilaksanakan semalam dari pukul 20.00 sampai sekitar pukul 22.00. Hal tersebut karena IRF 2023 ingin menyuguhkan tampilan-tampilan yang bagus, lebih berkualitas, dan panggung juga benar-benar digarap secara optimal.

“Tahun ini, tim belakang layar pun benar-benar bekerja secara fokus di penggarapan panggung. Sehingga hampir semua penampil merasa bahwa panggung memiliki energi yang besar,” imbuh dia.

Selain dari sisi panggung, cara penonton melihat penampilan-penampilan juga baru. Dulu, penonton disediakan kursi di tempat terbuka dan bisa membawa sendiri jika ingin melihat panggung yang lain. Tapi tahun ini berbeda, penonton melihat dari limasan sehingga tidak kehujanan dan duduk di kursi yang sudah ditata.

Tim Belakang Layar

Gelaran IRF 2023 juga tidak lepas dari para generasi muda usia kurang dari 20 tahun yang bergerak menjadi tim running di belakang layar. Nuri menyebutkan, hal tersebut menjadi regenerasi dan ajang belajar secara langsung bagi mereka dalam mengelola suatu event.

Pimpinan Produksi, Marvel Gracia mengatakan terdapat 18 orang yang terlibat menjadi tim running. Mereka terbagi menjadi beberapa divisi yaitu setting panggung, dokumentasi video dan foto, kemudian konsumsi, sound system, dan lainnya. 

Marvel memilih teman seangkatannya di sekolah secara selektif karena akan berpengaruh pada cara kerja ketika menangani persiapan hingga jalannya acara.

“Sistem yang saya gunakan yakni menganalisa sejak pertama kenal. Semisal saya kenal dengan si A, nah dari tingkah dia bisa dilihat bisa atau tidaknya ketika diajak kerja sama. Jadi langsung saya seleksi ketika ada acara, orangnya sportif, jujur pasti saya ajak. Tetapi kalau dari cara berbicara dan sikapnya bisa dibilang kurang maka tidak saya ajak,” beber dia.

Oleh karena itu, tim running tidak dipilih dari sembarang orang. Hal tersebut diterapkan karena belajar dari pengalaman penyelenggaraan IRF sebelumnya. Selain itu, ketika Marvel sudah paham akan karakter mereka masing-masing, secara langsung memudahkan dia dalam membagi tugas sehingga tim menjadi solid.

Dalam keberlangsungan persiapan dan pelaksanaan pertunjukan, Marvel membagi tugas dengan saudaranya yakni Magnum Arkana selaku stage manager. Marvel lebih menangani dokumentasi, konsumsi, delegasi, pembawa acara, dan penerima tamu. Sedangkan Magnum bertugas menentukan pembagian kerja untuk setting panggung, penataan lampu, dan soundsystem.

“Kebanyakan yang saya ambil dari teman-teman SMKN 8 Solo jurusan broadcasting. Walaupun ternyata tidak terlalu paham mengenai videografi, tetapi mereka langsung belajar di lapangan. Sehingga keterlibatan mereka juga membantu pembelajaran dari teori-teori di sekolah,” ungkap dia.

Magnum menambahkan, dia dan teman-temannya mulai persiapan menata mixer lampu sejak sepekan sebelumnya. Namun, mereka terkendala dalam pengaturan warna lampu yang hanya bisa mengatur secara paralel.

“Kemarin kendalanya yaitu pengaturannya hanya bisa paralel, belum tahu mengubah pengaturan lampu satu sampai empat warnanya merah, empat sampai delapan warnanya biru, seperti itu. Sehingga sepekan sebelum pelaksanaan ditanyakan kepada teman yang lebih paham terkait patching, dan kode ke mixer,” kata dia.

Berbeda dengan pengaturan lampu, untuk sound system tidak ada kendala serius karena sudah terbiasa menggunakannya, namun hanya sempat terkendala terkait kabel ground yang ditancapkan ke tanah agar tidak tersetrum.

Evaluasi juga diterapkan sebelum tim running pulang. Evaluasi tersebut bertujuan memberikan kesempatan untuk mengeluarkan segala uneg-uneg terkait hal-hal yang menjadi kendala sehingga ke depan, bisa lebih baik. Artinya, dari yang belum mengerti bisa mendapatkan banyak masukan dan ilmu dari divisi yang lain. (K. Setia Widodo)

Read Next