Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Berbagai kasus tindak kekerasan yang belakangan marak terjadi sesungguhnya tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melibatkan berbagai faktor penyebab, di antaranya adalah pola asuh orang tua yang keliru, sehingga anak dapat mengalami kekerasan dan bukan tidak mungkin menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.
Demikian dikatakan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Kemdikbudristek, Jumeri dalam sambutan pembukaan Seminar dan Lokakarya Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan pada Anak Usia Dini pada Satuan PAUD di Badung,Bali, Minggu-Senin (19-21/Desember/2021).
“Berbagai tindak kekerasan ini membuka mata betapa pentingnya mencurahkan perhatian terhadap upaya pencegahan dan penanganan tindak kekerasan dilakukan sejak dini,” kata Jumeri seperti dikutip dalam laman Paudpedia.
Jumeri menjelaskan, perlindungan dari kekerasan adalah hak asasi setiap anak yang telah diatur oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam pasal 28 disebutkan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Hal ini semakin diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
"Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi memiliki komitmen yang tinggi untuk menghadirkan lingkungan belajar yang aman dari berbagai bentuk kekerasan yang dapat terjadi kepada peserta didik,” katanya.
Komitmen tersebut, lanjut Jumeri, telah tertuang dalam berbagai kebijakan, dimulai dari masuknya masalah ‘kekerasan’ sebagai salah satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan (kekerasan seksual-perundungan-intolerasi), serta terbitnya berbagai peraturan yang memastikan keamanan peserta didik, baik secara fisik maupun psikis.
Komitmen tersebut, menurut Jumeri, sejalan dengan komitmen negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 26 Januari 1990, disusul dengan Pengesahan Hukum positif melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990.
Selain itu, selaras dengan Perpres Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (PAUD HI), dimana perlindungan anak merupakan salah satu dari lima kebutuhan esensial yang harus dijaga lintas sektor, lintas kementerian, dan lintas pelaku.
"Sebagai bagian dari kebijakan yang dilakukan oleh Kemendikbudristek, Ditjen PAUDDASMEN telah menyusun model PAUD Berkualitas yang menjadi wujud kesamaan visi lintas unit dan lintas pihak, mengenai kegiatan dan layanan yang perlu ada di satuan PAUD. Di dalam Model PAUD Berkualitas ini, keamanan dan keselamatan peserta didik adalah bagian dari indikator kinerja yang turut diukur pemenuhannya," jelasnya.
PAUD Berkualitas
Jumeri menjelaskan, model PAUD Berkualitas dari empat elemen, yaitu kualitas proses pembelajaran, kemitraan dengan orang tua, mendukung pemenuhan layanan esensial anak usia dini untuk aspek di luar pendidikan (termasuk pengasuhan dan perlindungan), serta kepemimpinan dan pengelolaan sumberdaya.
Menurut Jumeri, keempat elemen tersebut memiliki indikator terukur, dipantau di mekanisme pendataan, dan selaras dengan berbagai kebijakan Kemendikbudristek, seperti profil/rapor pendidikan, transformasi sekolah di Program Sekolah Penggerak, akreditasi, dan kerangka kompetensi PTK dan NSPK Dit PAUD.
“Berbagai indikator yang terukur dan terpantau ini ditujukan agar dapat menguatkan peran berbagai pihak dalam menghadirkan lingkungan belajar yang aman sebagai bagian dari PAUD Berkualitas,” katanya.
Hadir dalam pembukaan semiloka Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Kepala BP-PAUD dan Dikmas Provinsi Bali, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Provinsi Bali, Ketua Dharma Wanita Persatuan Kemendikbudristek dan Ketua Dharma Wanita Persatuan Ditjen PAUD Dikdasmen.