logo

Kampus

Selama Pandemi, Kekerasan pada Perempuan dan Anak Meningkat

Selama Pandemi, Kekerasan pada Perempuan dan Anak Meningkat
Webinar bertajuk 'Negara dan Peran Muhammadiyah dalam Perlindungan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak', diselenggarakan Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa (25/1/2022). Webinar menghadirkan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati. (EDUWARA/K Setyono)
Setyono, Kampus25 Januari, 2022 18:33 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Selama pandemi Covid-19 atau sepanjang 2021, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat terjadi peningkatan kasus maupun korban pada tindak kekerasan yang menimpa perempuan dan anak.

Hal ini disampaikan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam webinar bertajuk 'Negara dan Peran Muhammadiyah dalam Perlindungan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak', Selasa (25/1/2022). Seminar ini diselenggarakan Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

 "Kasus kekerasan pada perempuan selama pandemi Covid-19 meningkat sebanyak 18,32 persen. Kekerasan pada anak juga meningkat sebanyak 28,54 persen," katanya.

Sepanjang 2021, total jumlah korban ikut meningkat dengan rincian sebanyak 17,97 persen yang mengalami kekerasan dan korban anak 28,72 persen. Sedangkan kekerasan yang dialami pada anak mayoritas mengalami kekerasan seksual sebanyak 45 persen, psikis 19 persen, fisik 18 persen dan penelantaran anak 5 persen.

Presentasi perempuan korban kekerasan yang terlaporkan menurut jenis kekerasan pada tahun 2021 antara lain 39 persen perempuan mengalami kekerasan fisik, 30 persen mengalami kekerasan psikis, 12 persen mengalami kekerasan seksual, 10 persen mengalami penelantaran, dan 2 persen mengalami tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

 "Faktor konstruksi sosial patriarkis yang menempatkan perempuan dan anak pada berbagai kerentanan yang mengancam kualitas hidupnya menjadi pemicu kekerasan seksual," ungkapnya.

Menurutnya, ketimpangan relasi kuasa merupakan akar dari fenomena kekerasan termasuk kekerasan seksual yang mengancam kehidupan anak dan perempuan Indonesia sejak dulu hingga hari ini.

Sebagai isu yang sangat kompleks, Bintang Darmawati mengatakan dibutuhkan keterlibatan dari semua kalangan untuk memperhatikan secara khusus atas kasus tersebut. Terutama dalam kerangka berpikir yang sama bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa karena merenggut kemerdekaan seseorang.

Selama ini upaya pemerintah dalam penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak adalah mendorong pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ini sebagai payung hukum mendorong pengesahan dalam memberikan pendampingan melalui layanan SAPA 129.

"Dari segi kelembagaan, menyediakan lembaga yang memiliki fokus pada perlindungan perempuan dan anak," paparnya.

Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah Atiyatul Ulya menyampaikan Muhammadiyah maupun Aisyiyah mengutuk tegas berbagai bentuk kekerasan seksual. Terlebih yang membahayakan terhadap perlindungan dan penghormatan martabat kemanusiaan, generasi, dan agama.

"Berbagai upaya pencegahan dan penanganan telah dilakukan Muhammadiyah dan Aisyiyah, di antaranya dengan melakukan sosialisasi konsep keluarga sakinah yang telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih. Kami memberikan pendampingan untuk korban dengan memberikan layanan yang dibutuhkan melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Aisyiyah," tegasnya.

Dirinya juga mengatakan Aisyiyah terus melakukan kajian terhadap RUU PKS atau RUU TPKS secara rutin dari berbagai perspektif.

Read Next