logo

Gagasan

Tradisi Mudik dan Ajakan Tak Berpindah dari Desa ke Kota

27 April, 2022 15:51 WIB
Tradisi Mudik dan Ajakan Tak Berpindah dari Desa ke Kota
Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar, Rabu (27/4) berharap warga desa tidak terpengaruh ajakan ke kota. Kehidupan desa sekarang ini jauh lebih sejahtera, lebih nyaman dan lebih bahagia. (Eduwara/Setyono)

Eduwara.com, JOGJA—Tradisi mudik dinilai dianggap satu faktor pemicu urbanisasi warga desa ke kota. Kini, kehidupan desa yang jauh lebih baik diharapkan menjadi pengikat warga desa tak berpindah ke kota.

Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Yuanda Zara menerangkan mudik adalah tradisi lama yang dijalankan penduduk Indonesia.

"Dulu mudik bersifat personal dan skalanya masih kecil. Selama penjajahan Belanda dan Jepang tradisi mudik tidak diperhatikan. Barulah Indonesia merdeka tradisi mudik diperhatikan sehingga bersifat kolektif dan massal," tulisnya dalam keterangan tertulis kepada Eduwara.com, Rabu (27/4/2022).

Semakin meningkatnya jumlah pemudik dari kota-kota besar pada 1960-an, yang didominasi pekerja kasar. Yuanda menerangkan hal ini menjadikan pemerintah fokus membangun dan meningkatkan berbagai jalur transportasi.

Pada masa Pandemi Covid-19, Yuanda menyebut fenomena mudik ada yang berubah dan ada yang tidak berubah. Yang tidak berubah adalah keinginan orang untuk mudik menjelang Lebaran.

"Keinginan ini tetap eksis ketika pandemi terjadi dan mudik dilarang. Ini menunjukkan betapa kuatnya tradisi mudik ini melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia," ujarnya.

Adapun, yang berubah adalah cara berkomunikasi dengan keluarga di desa bagi mereka yang tidak bisa mudik. 'Mudik Virtual' dengan menggunakan kemajuan teknologi informasi memudahkan berbincang lewat video banyak dilakukan dua tahun terakhir.

Secara umum, Yuada melihat sisi positif pada tradisi mudik pada dasarnya adalah semakin memperkuat ikatan sosial perantau dengan keluarga besarnya. Lalu ada dampak pendistribusian ekonomi kota dalam jumlah besar ke desa.

"Tradisi mudik kemudian meleburkan agama dan tradisi dalam satu momen yang dirayakan secara nasional. Dampak negatifnya juga ada tentunya," ucapnya.

Dampak negative itu misalnya, mendorong urbanisasi dan terjadinya transmisi gaya hidup kota ke warga desa, padahal gaya hidup tersebut belum tentu sesuai dengan nilai-nilai di desa.

Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Heddy Shri Ahimsa-Putra menilai tradisi mudik bagi masyarakat Indonesia tidak akan pernah hilang meski jaman berganti dan  kemajuan teknologi hadir.

"Penggunaan teknologi informasi selama pandemi hanyalah cara untuk melepas rindu karena tidak bisa mudik. Saat kondisi mampu dan tak ada larangan, mudik akan tetap dilakukan," katanya.

JANGAN TERPENGARUH

Sementara itu, ditemui di Bantul, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar berpesan warga desa tidak terpengaruh ajakan ke kota. Kehidupan desa sekarang ini jauh lebih sejahtera, lebih nyaman dan lebih bahagia.

"Dinamika kependudukan hampir di semua desa tinggi. Terutama habis lebaran, tradisi mudik dibarengi berkurangnya jumlah pendudukan desa Karen ikut ke kota," kata Halim.

Mendes menegaskan desa sekarang ini mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Kehidupan desa jauh lebih nyaman, lebih sejahtera dan lebih bahagia dibandingkan kota.

"Karena itu (warga desa) jangan mudah tergiur dan terbuai janji-janji, pamer-pamer yang belum tentu benar bisa terwujud. Intinya nggak usah terpengaruh dengan ajakan ke kota. Kita bangun desa untuk lebih sejahtera," pesannya.

Read Next