logo

Sekolah Kita

Stop Tradisi Bullying di Satuan Pendidikan

Stop Tradisi Bullying di Satuan Pendidikan
Ilustrasi bullying. (EDUWARA/Pixabay)
Redaksi, Sekolah Kita07 Desember, 2022 03:57 WIB

Eduwara.com, JAKARTA – Salah satu hak anak yang penting untuk dipenuhi adalah hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. Namun, ada beberapa permasalahan yang memengaruhi kehidupan mereka ketika dewasa, bahkan mampu merenggut masa depan anak, misalnya perundungan atau bullying.

Data KPAI sejak tahun 2011-2019 mencatat ada 574 anak laki-laki yang menjadi korban bullying, 425 anak perempuan jadi korban bullying di sekolah. Kemudian, 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan sebagai pelaku bullying di sekolah. Sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 17 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan Pendidikan.

Hal tersebut disampaikan Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Anggin Nuzula Rahma dalam Webinar Series: Stop Tradisi Bullying di Satuan Pendidikan yang digelar secara daring (5/12/2022).

“Banyaknya kasus bullying yang terjadi di satuan pendidikan, bukan hanya terjadi sesama siswa, tapi dapat juga terjadi pada para pendidik dan tenaga kependidikan. Tidak sedikit guru yang melakukan kekerasan dengan tujuan pendisiplinan. Ada oknum guru berdalih mendisiplinkan anak-anak, menggunakan cara-cara kekerasan termasuk melakukan bullying,” ujar Anggin Nuzula Rahma seperti dilansir Eduwara.com, Selasa (6/12/2022), dari laman KemenPPPA.

Anggin menjelaskan, perundungan dapat menyebabkan trauma baik fisik maupun psikologis yang punya dampak buruk yang besar bagi anak. Di samping itu, hadirnya media sosial dan internet yang dekat dengan anak ternyata menjadi ruang baru bagi tumbuhnya cyberbullying atau perundungan di ranah digital.

Cyberbullying ini yang juga marak terjadi saat ini. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan melalui satuan pendidikan bukan hanya dilakukan melalui slogan-slogan yang ada, tapi harus dilakukan secara menyeluruh melalui proses peneladanan yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari,” jelas dia.

Tanggung Jawab Bersama

Lebih lanjut, KemenPPPA memandang kasus bullying di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu upaya yang holistik dan integratif dalam pencegahan bullying. Upaya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bukan hanya tanggung jawab guru semata sebagai pendidik, namun seluruh sektor seperti orang tua sebagai pendidik utama, pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, media, dan masyarakat pada umumnya.

Sementara itu, praktisi dari Rumah Duta Revolusi Mental Dinas Pendidikan Kota Semarang, Putri Marlenny memaparkan ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan bullying di Sekolah Berasrama atau Pondok Pesantren. Di antaranya, kurangnya sarana dan sumber daya dalam pengawasan kegiatan peserta didik atau santri, lingkungan pertemanan yang negative, budaya bullying turun temurun.

Selain itu, juga kebijakan atau regulasi sekolah berasrama atau pondok pesantren yang belum jelas tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan, faktor Individu seperti balas dendam, karakter reaktif, agresif, ingin berkuasa, dan lainnya, serta anggapan tidak sopan berdasarkan norma kelompok tertentu.

“Dari pengalaman kami ketika melakukan intervensi di satuan pendidikan berasrama atau pesantren, ternyata sumber daya manusianya belum memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu arti kekerasan, pemenuhan hak anak dan intervensi yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan dan bullying dan upaya pencegahannya. Intervensi perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini,” jelas Putri.

Menurut dia, intervensi dapat dilakukan dengan melakukan prinsip 7K dalam pencegahan dan penanganan bullying yaitu kesadaran, kesediaan, komitmen, konsistensi, kerjasama dan keterbukaan.

“Segala hal tindak kekerasan bullying di sekolah berasrama merupakan masalah yang harus segera ditangani secara tuntas. Seluruh warga di satuan pendidikan berasrama atau ponpes harus sadar bahwa tindak kekerasan adalah suatu hal yang sangat serius dan harus ditangani dengan mengedepankan perspektif anak sebagai korban,” pungkas dia. (K. Setia Widodo/*)

Read Next