Kampus
05 Desember, 2021 09:37 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Riyanta
Eduwara.com, SOLO—Pembahasan masalah lingkungan yang tidak menghubungkan dengan kondisi perempuan dinilai akan bersifat diskriminatif dan tidak menyeluruh. Untuk itu ekofeminisme perlu digalakkan dalam pembahasan persoalan lingkungan.
Perempuan sering mendapatkan stigmatisasi dan marginalisasi, dianggap tidak mampu untuk menjadi leader dan tidak pantas memperjuangkan lingkungan yang baik.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk Membincang Ekofeminisme dan Krisis Iklim yang digelar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Solo via Google Meeting, Rabu (1/12/30).
Menurut pembicara dalam diskusi itu, Chintami Budi Pertiwi, diskusi itu digelar untuk memperingati Hari Ulang Tahun Ke-54 Ketua Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri. Sedangkan tema itu dipilih karena sekarang krisis lingkungan terjadi di belahan dunia manapun, khususnya Indonesia.
"Bencana alam yang terjadi baru-baru ini, sepeti banjir merupakan bukti adanya permasalahan lingkungan di Indonesia. Sayangnya, masalah lingkungan ini tidak mencuat di media mainstream karena tertutup oleh masalah lain yang sebenarnya tidak terlalu penting," ujar Chintami yang juga Ketua Kopri Solo, saat ditemui Eduwara.com, Kamis (2/12/2021), di kawasan Jebres, Solo.
Dewasa ini isu lingkungan kerap disinggung oleh berbagai pihak.Hal itu karena masalah lingkungan berkaitan erat dengan banyak kalangan. PMII Solo sadar permasalahan lingkungan adalah masalah bersama.
Dalam diskusi yang diselenggarakan via Google Meeting itu, Chintami memandang permasalahan lingkungan dari kacamata ekofeminisme. Menurutnya perbincangan soal lingkungan kerap lepas dari pengalaman ketubuhan perempuan, seperti soal haid, mengandung, menyusui dan lainnya.
"Permasalahan lingkungan sering dipandang dari kacamata sosialisme, marxisme, liberal, dan lainnya. Ekofeminisme hadir untuk menutupi celah dari paham-paham lain yang tidak mempertimbangkan pengalaman ketubuhan perempuan dan alam," ungkap dia.
Salah seorang peserta diskusi yang tidak menyebutkan identitasnya, sempat menyanggah dan mempermasalahkan adanya diskusi. Baginya diskusi semacam ini hanyalah omong kosong dan sia sia. Menurutnya percuma diskusi semacam ini diadakan namun tanpa tindakan nyata, terjun langsung ke masyarakat.
Chintami menimpali pendapat itu, ia mengungkapkan sebagai mahasiswa diskusi seperti ini bukanlah hal percuma. "Justru sebelum terjun ke lapangan bersama masyarakat, mahasiswa terlebih dahulu harus belajar. Setidaknya ketika turun ke lapangan sudah mempunyai dasar yang baik," tegas Chintami.
Seorang peserta diskusi, Afifa Wulandari menganggap ruang-ruang diskusi seperti ini sangat penting diadakan. Hal itu sejalan dengan nilai dasar pergerakan PMII yang berkenaan dengan masalah ekologi.
Chintami menambahkan, ketika berbicara hal yang berkaitan dengan feminisme, kerap kali dianggap sebagai usaha untuk menyingkirkan atau mengalahkan laki-laki. Padahal hal itu menurutnya tidak benar.
"Feminisme hadir untuk menghapuskan segala bentuk penindasan dan diskriminasi semua pihak. Tidak hanya pada perempuan, tapi juga pada hal lain seperti diskriminasi ras, suku, bahkan gender lain. Termasuk berupaya mengapus perusakan-perusakan alam," tutur Chintami. (M. Diky Praditia)
Bagikan