Sekolah Kita
07 September, 2022 22:59 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, SOLO – Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Solo menggelar Festival Projek Bhinneka Tunggal Ika Menghargai Keberagaman, Rabu-Kamis (7-8/9/2022) di Aula SMAN 1 Solo. Festival tersebut diikuti oleh seluruh kelas X dengan pembagian kelas X-1 hingga X-6 pada hari pertama, sedangkan X-7 sampai X-11 pada hari kedua.
Wakil Kepala (Waka) Kurikulum, Arni Ferra Sinara mengatakan pelaksanaan festival berangkat dari Kurikulum Merdeka yang tidak 100 persen berupa kegiatan intrakurikuler.
“Jadi ada porsi 30 persen untuk Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang terdiri atas tujuh tema yang harus diselesaikan dari kelas X hingga kelas XII. Untuk kelas X ada tiga tema, tema pertama adalah Bhinneka Tunggal Ika,” kata Ferra kepada Eduwara.com, Rabu (7/9/2022), di sela-sela acara.
Dalam projek tersebut, sambung dia, tentu ada nilai yang ingin dikembangkan dan dikuatkan seperti berkebhinnekaan global, gotong royong, dan kreativitas. Ferra menambahkan, terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan oleh siswa sebelum pelaksanaan festival
Pertama, tahap pengenalan tentang konsep Bhinneka Tunggal Ika dan keberagaman di sekitar. Kedua, adalah tahap kontekstualisasi yang berupa siswa melakukan mini research di lapangan baik lingkungan rumah, masyarakat, maupun instansi untuk menggali isu keberagaman.
“Sebelum festival, anak-anak sudah melakukan penelitian lapangan. Ada yang meneliti mengenai toleransi antar masyarakat di sekitar gereja yang berjejeran dengan masjid, toleransi mengenai kesepakatan yang dibuat dan pembagian wilayah oleh sesama pedagang es kapal di sekitar Sriwedari,” tambah dia.
Selain itu, tambah Ferra, para siswa juga meneliti toleransi beragama di lingkungan sekolah, kesetaraan gender, penyandang disabilitas, hingga toleransi antar pedagang pasar yang berjualan di toko dengan yang mengemper.
Dia melanjutkan, tahap ketiga adalah membuat aksi nyata yang diwujudkan dengan bermacam-macam cara. Ada yang membuat podcast, siaran radio, membuat produk, film pendek, lagu, dan sebagainya. Setelah itu dilanjutkan tahap terakhir yakni refleksi.
“Sebenarnya hal tersebut merupakan tujuan sementara. Tujuan akhirnya adalah terciptanya kesadaran mengenai Bhinneka Tunggal Ika, keberagaman, dan kita dalam menjalani hidup memang selalu berada dalam sebuah keberagaman,” ungkap dia.
Budaya Lokal
Perwakilan kelompok 1 Kelas X-3, Anastasia Stefani Wahyu Pratiwi mengatakan kelompoknya mengangkat isu kesetaraan gender dalam tarian Buto Gedruk. Melalui isu tersebut, dia dan teman-temannya sekaligus merambah mengenai generasi muda yang sudah mulai lupa dengan budaya lokal.
Dalam proses penelitiannya, kelompok 1 kelas X-3 mewawancarai salah seorang penari perempuan Buto Gedruk yakni Najwa Putri Pramadita yang juga salah seorang siswi SMPN 26 Solo.
“Yang didapatkan dari penelitian ini adalah perempuan bisa menjadi apa yang mereka mau sehingga tidak hanya memainkan peran perempuan saja tetapi juga bisa memainkan peran laki-laki. Seperti Najwa Putri Pramadita ini, dia bisa memainkan tarian Buto Gedruk, di mana tarian tersebut biasa dimainkan oleh laki-laki,” jelas Tiwi, sapaan akrab Anastasia Stefani.
Sementara itu, perwakilan kelompok 6 Kelas X-2, Luna Adisya Putri menuturkan kelompoknya membuat video animasi mengenai dampak-dampak body shaming.
“Menurut kelompok kami, body shamming paling sering terjadi di lingkungan kita. Dalam video animasi, yang dibahas meliputi pengertian, macam-macamnya, dan dampak terhadap kesehatan mental,” ujar dia.
Menurut dia, walaupun body shaming dianggap biasa, namun dampaknya bisa benar-benar mengena bagi korban. Oleh karena itu, dia berharap candaan mengenai body shamming apalagi di lingkungan sekolah tidak terjadi lagi.
“Harapannya, candaan body shaming tidak terjadi lagi. Karena sebenarnya tidak lucu, bisa membuat dampak yang mengena juga bagi korban,” harap dia. (K. Setia Widodo)
Bagikan