Kampus
21 April, 2022 14:52 WIB
Penulis:Bhakti Hariani
Editor:Bunga NurSY
Eduwara.com, DEPOK— Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menyarankan pemerintah untuk membuat regulasi yang memprioritaskan suplai dan menerapkan insentif di pasar domestik minyak sawit demi menjaga stabilitas harga komoditas itu.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI) Meidi Kosandi dalam menanggapi kelangkaan minyak goreng yang dialami masyarakat selama lebih kurang beberapa bulan terakhir.
Kenaikan harga minyak goreng terebut selaras dengan melonjaknya harga minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO) sebagai bahan baku utama minyak goreng.
Meidi memaparkan, ada beberapa pilihan kebijakan yang bisa diterapkan terkait permasalahan kenaikan harga minyak goreng.
Pemerintah dapat membangun industri kelapa sawit berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat dalam kebijakan negara.
Dari sisi regulasi, lanjut dia, pemerintah harus membuat pengaturan untuk prioritas suplai pasar domestik dan menerapkan insentif perdagangan domestik.
“Sementara itu, terkait distribusi, pasar domestik harus dilindungi dan pengawasan terhadap pasar domestik dan perdagangan internasional harus diperketat. Kebijakan juga harus redistributif. Artinya, pendapatan produk sawit digunakan untuk lingkungan hidup, industri, dan pasar domestik,” jelasnya dalam siaran pers yang diterima redaksi Eduwara.com, Kamis (21/4/2022).
Meidi Kosandi memaparkan, pemerintah harus menyadari tidak ada kebijakan ekonomi dan politik yang bisa memuaskan semua pihak. Setiap kelompok berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan usaha sekecil-kecilnya.
“Dari perspektif ekonomi dan politik, pemerintah menghadapi tantangan untuk membuat kebijakan yang tepat terkait krisis minyak goreng di Indonesia. Dalam konteks pasar, kebijakan tidak dilihat dari perilaku jual-beli, tetapi dari aktor konstituen, yaitu rakyat, yang memegang peranan penting,” ujarnya.
Menurut Meidi, dalam kasus kelangkaan minyak goreng, pemerintah menghadapi dilema antara pasar dan masyarakat. Isu ini dilatarbelakangi kenaikan harga minyak sawit di dunia.
Minyak goreng kemasan langka ketika diterapkan skema Harga Eceran Tertinggi (HET), namun ketika mengkuti harga pasar, muncul isu sosial dan politik di masyarakat. Selain itu, lanjut Meidi, ada pula isu ketidakberpihakan pemerintah pada masyarakat serta munculnya kartel minyak goreng, persekutuan antara dua pihak atau lebih yang mengambil keuntungan dari penjualan minyak goreng.
“Isu kartel minyak goreng ini seakan dibenarkan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Muhammad Lutfi, di depan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dengan kewenangan kementerian yang terbatas, Lutfi menyebutkan adanya mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar. Mafia atau kartel ini dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran,” tutur Meidi.
Dia memaparkan, ada beberapa kebijakan negara di sektor industri sawit. Pertama, hilirisasi industri berbasis kelapa sawit yang diterapkan sejak 2007. Dengan berbagai inovasi, Indonesia berhasil mengembangkan 168 jenis produk turunan, 80% ekspor produk turunan, serta produksi minyak goreng.
Kedua, adanya sentralisasi di bawah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) serta diterapkannya Program Mandatori Biodiesel 30% (B30). Program ini mewajibkan pencampuran 30% hasil olahan CPO dan 70% bahan bakar minyak jenis solar.
“Langkah-langkah tersebut menunjukkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam pengembangan industri sawit di dalam negeri. Meski begitu, negara menghadapi dilema karena dalam mengembangkan industri kelapa sawit, negara diterpa berbagai isu, seperti lingkungan hidup, alih lahan hutan, dan isu keberpihakan pada masyarakat,” tutur Meidi.
Bagikan