Art
11 Juni, 2022 21:17 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, SOLO – Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa (PBJ) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menggelar Pentas Penyutradaraan 2022, Jumat (10/6/2022). Pergelaran yang dilaksanakan oleh mahasiswa angkatan 2019 itu dilaksanakan secara luring terbatas di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kentingan, Solo.
Pimpinan Produksi, Yanuar Yoga Saputra menuturkan titik fokus pentas tersebut adalah penyutradaraan yang berangkat dari salah satu mata kuliah wajib di semester VI.
“Jadi kami membuat suatu pementasan sekaligus kepanitiaannya dan penilaian diambil dari praktiknya,” ujar Yanuar kepada Eduwara.com, Jumat (10/6/2022) di sela-sela acara.
Yanuar menambahkan, gelaran tahun ini menggunakan konsep baru yaitu tempat dan kelompok pementasan. Sebelum pandemi Covid-19, Pentas Penyutradaraan dilaksanakan di Lobi Gedung E Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS Solo, serta hanya ada satu kelompok dan satu sutradara.
“Kami memberanikan diri menyelenggarakan di Teater Arena dengan dua kelompok dan dua sutradara. Biasanya hanya satu sutradara dengan satu kelompok. Tapi tahun ini kami membuat perbedaan dengan dua pementasan,” ujar dia.
Terkait pemilihan sutradara, dilakukan secara berembug dengan melibatkan seluruh mahasiswa satu angkatan. Jika tidak ada yang mengajukan diri, akan dilakukan aklamasi dengan mempertibangkan latar belakang keaktifan dalam dunia teater. Setelah sutradara ditentukan, dilanjutkan pembentukan kordinator dan casting pemain. Mahasiswa yang tidak lolos casting, otomatis masuk kepanitiaan.
Dengan konsep pementasan yang terbuka bagi khalayak umum, Yanuar berharap PBJ UNS Solo lebih dikenal di masyarakat.
“Oh, ternyata PBJ tidak hanya seputar aksara Jawa, sejarah, dan lainnya. Namun juga ada pementasan. Untuk teman-teman mahasiswa, semoga nantinya setelah lulus apabila terlibat dalam kepanitiaan semacam ini sudah punya bekal,” harap dia.
Dua Sandiwara Jawa
Pantauan Eduwara.com, pementasan dibagi menjadi dua sesi. Sesi sore dimulai pukul 15.00 WIB, menampilkan sandiwara bahasa Jawa berjudul Mrusal. Sedangkan sesi malam dimulai pukul 19.30 WIB, menampilkan hal yang sama dengan judul Mupus Kautaman.
Sutradara Mrusal, Wahyu Rintoko Aji mengatakan judul pementasan berasal dari kata mursal yang berarti nakal. Naskah pementasan merupakan adaptasi dari Melik Nggendhong Lali karya Udyn Oepewe.
“Garis besar cerita sebenarnya sepele, yaitu mengangkat konflik yang terjadi dalam keluarga khususnya hubungan anak dan orang tua serta isu sosial. Tokoh Surti yang tidak ingin dikekang oleh orang tuanya karena cara mendidik yang saklek. Dia ingin bebas, namun dengan cara yang salah sehingga berimbas di lingkungan sekitarnya. Isu sosial seperti minyak goreng yang baru-baru ini mencuat,” jelas Rintoko.
Menurut Rintoko, pesan dari sandiwara bahasa Jawa itu ialah jangan menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Seperti tokoh Surti yang diceritakan “nakal” namun masih punya sisi kelembutan hati dibuktikan dengan kepedulian kepada orang tuanya.
Kemudian tokoh orang gila yang dianggap benar-benar gila oleh masyarakat, dalam cerita itu ditampilkan malah lebih bijak dari orang lain
Sementara itu, Sutradara Mupus Kautaman, Farhan Rajandra Danasura menjelaskan cerita bertempat di desa terpencil yang masih menerapkan sistem monarki.
“Namun ketika era kepemimpinan Lurah Marmo ingin mengganti menjadi demokrasi. Pak Lurah punya tangan kanan yaitu Bangkit yang nantinya dicalonkan. Namun yang menjadi masalah adalah istri Pak Lurah bernama Laras yang dirawat ibunya Bangkit karena orang tuanya sudah meninggal ketika kecil,” jelas dia yang kerap dipanggil Rajandra itu.
Naskah pementasan, lanjut dia, merupakan karya pribadi dengan sedikit inspirasi dari lagu Karsaning Hyang ciptaan Aji Setyaji. Rajendra mengaku lebih senang membuat cerita yang sad ending, sehingga sandiwara yang ditampilkan berakhiran yang sama. Menurut dia, sad ending akan lebih mengena oleh penonton daripada happy ending.
Rajandra menambahkan, pesan yang ingin disampaikan melalui cerita tersebut ialah berkaca kepada tokoh Laras, di mana harus ingat siapa yang mau menerima ketika mengalami kesusahan.
“Jangan sesekali memanfaatkan kebaikan dari orang yang paling terdekat dengan kita,” pungkas dia. (K. Setia Widodo)
Bagikan