Program MBG Sebaiknya Dikelola Sekolah

05 Oktober, 2025 07:00 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

05102025-UGM MBG.jpg
Siswa-siswi di sebuah sekolah sedang menyantap menu makanan yang disajikan melalui program MBG. Guru Besar FEB UGM, R Agus Sartono, menilai program MBG bagus dalam meningkatkan dan memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia. Namun, karena terjadi berbagai kasus keracunan di berbagai daerah, selayaknya program MBG dikembalikan atau diurus oleh masing-masing sekolah. (EDUWARA/K. Setyono)

Eduwara.com, JOGJA - Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, R Agus Sartono, menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagus dalam meningkatkan dan memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia. Namun, karena terjadi berbagai kasus keracunan di berbagai daerah, selayaknya program MBG dikembalikan atau diurus oleh masing-masing sekolah.

“Selama 10 bulan, pelaksanaan MBG memiliki tujuan bagus, khususnya bagi pelajar dari golongan yang kurang. Tetapi kenyataannya, menu makanan kurang variatif dan kurang memenuhi gizi karena tata kelola yang buruk sehingga mengakibatkan keracunan bahkan ada yang meninggal karena makanan yang disajikan basi,” kata R Agus Sartono, Jumat (3/10/2025).

Menurut Agus, MBG sesungguhnya memberikan banyak manfaat. Pertama, setidaknya bertujuan memperbaiki gizi anak pada usia pertumbuhan melalui asupan yang cukup. Kedua, membangun kohesi sosial karena anak mendapatkan makanan yang sama, sehingga harapannya akan tumbuh empati dan kepedulian sosial.

Namun, lanjut Agus, tantangan MBG ada dalam pengimplementasiannya. Persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan.

Agus menambahkan, jika dilihat dari sasaran yang ingin dicapai, setidaknya terdapat 28,2 juta siswa SD/MI, 13,4 juta siswa SMP/MTs, 12,2 juta siswa SMK/MA/SMA, dan Dikmas/SLB 2,3 juta siswa sehingga total ada sekitar 55,1 juta yang harus dilayani. Semua itu tersebar di 329 ribu satuan pendidikan, dan belum termasuk lebih dari 20 ribu pesantren. 

“Dengan anggaran 15 ribu rupiah per siswa, maka setidaknya dibutuhkan dana sebesar Rp 247,95 triliun,” ucapnya.

Menurut Agus, implementasi program MBG dengan dana Rp 247,95 triliun ini jauh lebih besar dari Dana Desa 2025, yaitu sekitar Rp 71 triliun. Sementara itu, anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah tahun 2025 sebesar Rp 347 triliun sehingga terdapat Rp 665,95 triliun dana berputar di daerah.

Terkait hal ini, menurut Agus, ada baiknya daerah-daerah diberikan kewenangan mengelola program MBG sesuai undang-undang, sedangkan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring. Dengan cara dan pemberdayaan, Pemerintahan Daerah akan menjamin kemudahan dalam koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik.

Kantin Sekolah

Belajar dari praktik baik negara maju, kata Agus, program MBG dilaksanakan melalui kantin sekolah. Cara ini, disebut Agus, lebih baik dibanding dengan cara atau sistem yang diterapkan di Indonesia pada saat ini. Melalui kantin sekolah maka makanan akan tersaji fresh, dan menghindari makanan basi. 

“Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol mestinya cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia. Sekolah bersama Komite Sekolah, saya kira mampu mengelola ini dengan baik kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik,” urainya.

Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sri Raharjo, mengatakan dalam mengenali makanan yang layak dimakan, tidak dapat begitu saja dibebankan kepada konsumen atau siswa yang menerima makanan. Pasalnya, kemampuan siswa hanya sebatas menggunakan indera penciuman atau pun visual hingga tekstur dari makanan.

Untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan pada menu makanan MBG, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM ini mendesak perlu adanya perhatian khusus terhadap proses pengolahan hingga pengemasan makanan. Selain itu, perlu diperhatikan juga waktu pengolahan hingga makanan dikonsumsi siswa. Bahkan perlu diruntut satu per satu dari isi tray makanan.

“Dalam satu tray makanan yang macam-macam itu, kira-kira yang berkontribusi pada keracunan tadi itu di mana? Nasi, lauk, atau sayurannya kah? Gitu kan? Dan, nanti juga diperiksa dalam proses penyajiannya,” paparnya.

Menurut Sri Raharjo, salah satu menu di MBG yang memiliki potensi besar menyebabkan keracunan adalah lauk. Pengolahan lauk memerlukan waktu dan pemanasan yang cukup agar dapat mematikan atau mengurangi bakteri di bahan mentahnya. Di sisi lain, terdapat keterbatasan waktu, alat, hingga Sumber Daya Manusia (SDM) dari pihak penyedia MBG.

“Terpenting, pada pengadaan bahan mentahnya. Sedangkan, bahan segarnya, entah itu daging, ikan atau sayurannya itu, usahakan memang kondisinya bersih cemarannya dan belum tinggi,’’ ungkapnya.

Selain itu, kanjut Sri Raharjo, kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) perlu diperhitungkan kembali. Pasalnya, target yang dipatok pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi kurang lebih 3000 pack MBG, terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum. Sehingga kontrol terhadap makanan yang dipersiapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan.