logo

EduBocil

Benarkah Paracetamol Sirup Sebabkan Gagal Ginjal Akut pada Anak? Ini Kata Dosen UNS Solo

Benarkah Paracetamol Sirup Sebabkan Gagal Ginjal Akut pada Anak? Ini Kata Dosen UNS Solo
Dosen Prodi Profesi Apoteker FMIPA UNS Solo, Yeni Farida. (EDUWARA/Humas UNS Solo)
Redaksi, EduBocil22 Oktober, 2022 00:11 WIB

Eduwara.com, SOLO – Indonesia kini menghadapi ancaman penyakit gagal ginjal akut pada anak yang menyebabkan kematian. Semakin maraknya pemberitaan terkait terjadinya kasus gagal ginjal akut pada anak membuat orang tua ikut khawatir dan was-was dalam menggunakan obat terutama obat pereda panas seperti paracetamol maupun obat batuk pilek yang mengandung paracetamol.

Sirup obat batuk yang mengandung paracetamol disinyalir merupakan penyebab kematian 70 anak akibat gagal ginjal akut di Gambia, Afrika Barat. Hal tersebut karena obat dalam sediaan sirup tersebut mengandung dietilen glikol maupun etilen glikol.

Dosen Program Studi (Prodi) Profesi Apoteker (PSPA) Fakutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yeni Farida, angkat bicara menanggapi isu tersebut. Menurut dia, sebenarnya kasus semacam itu bukan kali pertama.

Yeni mengatakan, wabah pertama yang terjadi adalah Massengill tahun 1937 di Amerika Serikat akibat penggunaan obat sirup sulfanilamide yang mengandung pelarut etilen glikol dengan korban meninggal sebanyak 107 orang dengan sebagian besar adalah anak-anak.

Kejadian lain di Haiti pada tahun 1998. Dilaporkan dalam studi kasus yang terpublikasi di JAMA bahwa ada 109 kasus gagal ginjal akut pada anak hingga menyebabkan 85 kematian akibat penggunaan sirup yang menggunakan bahan tambahan dietilen glikol.

Yeni melanjutkan, Etilen glikol dan Dietilen glikol (DEG) adalah alkohol, cairan tidak berwarna, sedikit kental dengan bau yang menyenangkan dan rasa manis yang berfungsi sebagai pelarut. Setelah dikonsumsi, DEG dengan cepat diserap dan didistribusikan di dalam tubuh.

Metabolisme utamanya terjadi di hati kemudian dieliminasi secara cepat melalui ginjal baik zat utama maupun metabolitnya yaitu asam 2-hidroksietoksiasetat (HEAA).

“Meskipun saat ini mekanisme toksisitas akibat DEG maupun EG belum diketahui secara jelas, zat ini dicurigai akibat metabolitnya yaitu HEAA,” terang Yeni Farida seperti dilansir Eduwara.com, Jumat (21/10/2022), dari laman UNS Solo.

Keracunan DEG, sambung dia, dapat menimbulkan berbagai efek klinis yang dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama terdiri atas gejala gastrointestinal yaitu mual muntah yang berkembang menjadi sidosis metabolik.

"Pasien dapat berkembang ke fase kedua dengan asidosis metabolik yang lebih parah dan bukti gangguan ginjal. Jika tidak ada perawatan suportif yang tepat, hal tersebut dapat menyebabkan kematian. Jika pasien stabil, pasien dapat memasuki fase akhir dengan berbagai gejala gangguan neurologis," jelas dia.

Yeni menambahkan, dosis DEG yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas manusia tidak diketahui jelas, tetapi sebagian besar didasarkan laporan setelah beberapa epidemi keracunan massal, sekitar 1 mL/kg DEG murni.

Interval dari paparan DEG pertama dan paparan DEG terakhir hingga timbulnya gejala menunjukkan bahwa gejala akan muncul dalam waktu singkat setelah paparan. Keracunan dengan DEG paling sering diamati terkait dengan kontaminasi produk farmasi yang dapat dicerna.

Masyarakat Perlu Berhati-hati

Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan ada 206 kasus gangguan ginjal akut misterius atau gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak di 20 provinsi pada Selasa (18/10/2022).

Meskipun belum bisa disimpulkan bahwa penyebabnya sama dengan di Gambia, masyarakat perlu berhati-hati dalam memberikan obat diaan sirup khususnya yang mengandung paracetamol kepada anak.

Menurut Yeni, Paracetamol sebenarnya adalah obat yang aman digunakan pada anak. Akan tetapi, paracetamol susah larut pada air sehingga membutuhkan pelarut lain untuk dibuat dalam sediaan sirup. Oleh karena itu, banyak digunakan pelarut Polyethylene glycol (PEG) atau Polyethylene oxide (PEO).

Produk sirup yang mengandung pelarut DEG dan EG tidak beredar di Indonesia karena telah dilarang oleh BPOM untuk digunakan dalam sediaan sirup anak maupun dewasa. Namun, dimungkinkan PEG masih mengandung cemaran DEG maupun EG.

Menanggapi kasus tersebut, Kementerian Kesehatan memberikan edaran kepada seluruh Kepala Dinas Kesehatan di Indonesia, Direktur Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan, serta organisasi profesi kesehatan untuk turut serta mengambil tindakan.

Menurut Yeni, imbauan itu menjadi tantangan tersendiri bagi profesi Apoteker. Apoteker sebagai profesi kesehatan rujukan masyarakat terkait tentang obat diharapkan dapat memberikan solusi ketika ada pasien anak sakit, sementara itu obat dalam sediaan sirup dihindari.

Yeni menambahkan, dalam kasus tersebut bukan zat aktif obatnya yang bermasalah melainkan zat pelarutnya sehingga modifikasi bentuk sediaan obat dapat menjadi alternatif penanganan kondisi sakit yang membutuhkan obat.

“Untuk itu masyarakat diharapkan agar selalu berkonsultasi dengan dokter dan atau apoteker dalam memberikan obat pada anak,” harap dia.

Memberi Edukasi

Untuk mencegah kepanikan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap kasus itu, seluruh tenaga kesehatan dapat berperan serta untuk memberikan edukasi kepada masyarakat.

Informasi apa saja yang perlu masyarakat ketahui antara lain mengenali gejala gagal ginjal akut pada anak seperti penurunan volume/frekuensi urin atau tidak ada urin, dengan atau tanpa demam, sementara waktu tidak memberikan obat sirup pada anak, dan mengutamakan penanganan demam ringan tanpa obat seperti melakukan kompres air hangat, intake cukup yang cairan.

Yang tidak kalah penting, lanjut Yeni, adalah menerapkan pola hidup sehat dan menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya untuk mencegah sakit agar tidak perlu mengonsumsi obat.

"Semoga misteri kasus ini segera terpecahkan dan dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk mencegah semakin banyaknya anak yang menjadi korban," pungkas dia. (K. Setia Widodo/*)

Read Next