Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA – Upaya pemerintah untuk melakukan akselerasi pendidikan bagi perempuan dinilai sudah cukup nyata, karena bantuan pendidikan, akses pada pendidikan, terbuka luas. Namun, problem pemahaman agama yang sempit serta praktik budaya yang meminggirkan perempuan, belum sepenuhnya hilang.
Hal ini diungkap Wahidah R. Bulan, Dosen FISIP Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta kepada Eduwara.com, Kamis (21/4/2022).
“Di desa-desa dengan akses informasi terbatas, kasus-kasus seperti ini masih ditemui. Perempuan juga memiliki persoalan untuk dapat mengakses peluang yang tersedia, misalnya peluang yang mensyaratkan kemampuan literasi digital misalnya, belum sepenuhnya dapat diakses perempuan karena keterbatasan kemampuan mereka,”papar Wahidah.
Pemerintah, dikatakan Wahidah, juga harus aware akan problem tersebut. Bukan hanya membuka akses perempuan pada kemajuan pendidikan tapi juga melakukan intervensi guna meningkatkan kemampuan perempuan mengakses peluang tersebut.
Pendidikan tinggi, bagi perempuan apalagi dengan biaya pendidikan yang relatif mahal, masih belum terbuka luas untuk perempuan terutama di pedesaan dan bagi keluarga miskin. “Jika hanya sampai SMA, masih relatif sudah terbuka karena program bantuan pendidikan dari pemerintah pusat maupun daerah,” tutur wanita yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institut Literasi Nasionalisme (ILNAS) ini.
Kesetaraan gender di Indonesia, diungkap Wahidah, secara kuantitatif menunjukkan tren peningkatan meskipun belum merata pada semua aspek dan belum ideal.
“Dalam Global Gender Gap Index Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan 2010 misalnya trennya naik, di tahun 2020 sudah 0.7 sementara di 2011 hanya 0.66. Bahkan sejak 2017 Indonesia masuk 10 besar di Asia. Tapi peningkatan itu sebetulnya tidak merata. Untuk pendidikan dan kesehatan angka sudah di atas 0,9 tapi ekonomi dan politik masih jauh dibawah yakni 0.58 untuk ekonomi dan 0.22 untuk politik,” papar wanita bergelar doktor dari Universitas Indonesia ini.
Harus diakui bahwa problem nyata, lanjut Wahidah, ada pada tataran kualitatif. Praktek-praktek yang menunjukkan adanya diskriminasi masih dengan mudah dapat ditemui baik karena faktor budaya, sosial, bahkan politik. Meski secara umum kondisinya sdh lebih baik dr sebelumnya.
“Regulasi atau kebijakannya sendiri sebetulnya sudah bagus dan cukup kondusif. Beasiswa bisa diakses perempuan dan laki-laki secara sama, jadi ASN juga terbuka sama untuk perempuan. Akan tetapi dibeberapa institusi harus diakui, masih ada praktek diskriminasi bukan karena larangan tapi karena faktor “kelaziman”.
Wahidah berharap pada Hari Kartini 2022 ini akan hadir lebih banyak lagi perempuan Indonesia yang dapat muncul sebagai teladan dalam karya dan prestasinya karena itu akan menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya serta secara tidak langsung bisa mendorong dikeluarkannya kebijakan yang lebih pro kepada perempuan.
“Setelah sekian lama perempuan lebih banyak mengeluarkan jurus menuntut hak nya, saatnya sekarang perempuan menunjukkan bukti atau eksistensinya melalui prestasi, karya, keteladanan,” pungkas Wahidah.