Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Meskipun negara telah membuat sejumlah kebijakan untuk mengakui dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Upaya yang dilakukan negara sering kali bersifat prosedural dan belum menyentuh kebutuhan nyata di lapangan.
Koordinator Advokasi dan Jaringan Lembaga SIGAB, Purwanti, menyampaikan hal tersebut dalam seminar bertajuk “Perempuan dan Penyandang Disabilitas: Agen Perdamaian yang Terlupakan”, yang diselenggarakan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma (USD), pada Sabtu (27/9/2025).
Negara, menurut Purwanti, juga belum sepenuhnya menggunakan kewenangannya untuk memberi jaminan nyata terhadap hak-hak difabel.
“Akibatnya, banyak penyandang disabilitas terpaksa bertahan di sektor UMKM mikro, yang dalam praktiknya belum mampu memberikan perlindungan memadai bagi pemenuhan hak-hak dasar mereka,” kata Purwanti.
Seminar ini diikuti 50-an mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus di Yogyakarta, seperti Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, USD, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dalam sambutannya, Martinus Joko Lelono selaku pendamping panitia, mengatakan bahwa penyelenggaraan seminar ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menghadirkan masyarakat yang lebih inklusif dan melahirkan generasi muda yang siap menjadi penjaga perdamaian.
Hal ini, sesuai dengan yang disampaikan perwakilan Tim Steering Committee, Toberias Anri, Albertus Deklin, dan Marselinus Christopher Judeo. Bahwa seminar ini bertujuan untuk membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan dan penyandang disabilitas untuk turut memberi kontribusi nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
“Ketika kesempatan tersebut benar-benar hadir, akan terwujud sebuah kehidupan bersama yang lebih baik, adil, dan damai,” kata Toberias Anri.
Advokasi Perdamaian
Pemateri lainnya adalah Direktur Sabda Foundation, RR Nurul Saadah Andriani, yang menguraikan tentang pentingnya melakukan advokasi perdamaian dengan cara yang inklusif. Ia menolak pandangan yang hanya menempatkan perempuan dan penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan yang perlu dikasihani.
“Kedua kelompok ini adalah mitra strategis yang dapat memainkan peran penting dalam upaya menjaga perdamaian,” katanya.
Terkait hal ini, Nurul yang juga Konsultan GEDSI ini menawarkan tiga langkah konkret dalam proses advokasi, yaitu memahami situasi secara utuh, melihat potensi tang ada, dan melakukan aksi nyata melalui kampanye, dialog, serta kerja sama lintas pihak.
Selain sesi pemaparan narasumber, seminar juga menghadirkan ruang diskusi kelompok. Dalam forum ini, para peserta diajak untuk berdialog, bertukar pikiran, serta merumuskan gagasan bersama terkait tema yang diangkat.
Hasil diskusi kemudian dipresentasikan kembali, menjadi sarana refleksi kolektif sekaligus penguatan pemahaman mengenai peran strategis perempuan dan penyandang disabilitas dalam mengupayakan perdamaian dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.
Melalui seminar ini, peserta tidak hanya diajak memahami problematika yang dihadapi oleh perempuan dan penyandang disabilitas, tetapi juga menyadari bahwa keduanya memiliki potensi besar untuk menjadi agen perdamaian.
Harapannya, seminar ini dapat menjadi langkah awal yang melahirkan gerakan lebih luas di kalangan generasi muda, untuk menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan sungguh menghargai keberagaman.