Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, MALANG -- Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang juga pengamat pendidikan, Prof Syamsul Arifin, berharap Kemendikbud, Riset, dan Teknologi lebih intensif dalam melakukan sosialisasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Hal ini bertujuan agar interpretasi terhadap beberapa pasal dalam Permendikbud tersebut tidak berkembang menjadi liar.
Menurut Syamsul Arifin, dalam Permendikbudristek tersebut, ada frase dalam pasal 5, yakni "tanpa persetujuan korban" yang bisa mengundang tafsir yang liar. "Bahkan Dikti Litbang PP Muhammadiyah sudah menyampaikan sikap terkait Permendikbudristek tersebut," kata Syamsul Arifin di Malang, Rabu (10/11/2021).
Karena itulah, pemerintah perlu menjelaskan lebih detail dan intensif terkait Permendikbudristek tersebut dengan melibatkan khalayak yang lebih luas, seperti ormas-ormas keagamaan. Sebagai perguruan tinggi swasta milik Muhammadiyah, kata Syamsul Arifin, UMM tentu mempertimbangkan sikap dari persyarikatan.
Pada sisi lain, Syamsul Arifin meyakini Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tidak dimaksudkan untuk melegalkan seks bebas tanpa paksaan seperti yang disorot khalayak luas. Permendikbudristek tentang PPKS tersebut sebenarnya maksud untuk melindungi perempuan.
Karena itulah, penjelasan yang menyeluruh terkait pasal-pasal yang dipermasalahkan masyarakat perlu segera mendapatkan respon dari pemerintah, dengan memberikan penjelasan yang menyeluruh dan utuh. Dengan begitu, tafsir terkait Permendikbudristek tersebut bisa tepat dan proporsional.
Bagi UMM, lanjut Syamsul Arifin, tanpa adanya Permendikbudristek tersebut sebenarnya sudah melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi lewat peraturan-peraturan maupun memanfaatkan SDM dan lembaga-lembaga yang ada di kampus.
Implementasinya, bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi harus dilakukan di kampus. Selain itu, dosen dilarang menerima pemberian apapun dari mahasiswa karena itu termasuk kategori korupsi dan gratifikasi.
UMM juga intensif menyosialisasikan berbagal hal tentang yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kampus terkait upaya pencegahan kekerasan seksual, hak-hak perempuan, termasuk pemberian sanksi bagi mereka yang melanggar.
Dengan adanya Permendikbudristek tersebut, kata Syamsul Arifin, UMM tinggal menyesuaikan ketentuan internal kampus untuk mengimplementasikannnya, seperti menerbitkan peraturan rektor terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan mengacu pasal-pasal dalam Permendikbudristek tersebut.
"Draft-nya sudah ada," ujarnya.