logo

Gagasan

Dua Tahun Pembelajaran Online, Angka Pernikahan Dini di DIY Naik

17 September, 2022 05:20 WIB
Dua Tahun Pembelajaran Online, Angka Pernikahan Dini di DIY Naik
Peneliti dari Dinas P3AP2 Yogyakarta Warih Andan Puspitosari bersama peneliti UGM Umi Listyaningsih saat pemaparan hasil survei pernikahan dini, Jumat (16/9/2022). Selama pandemi yang diikuti pembelajaran online, angka pernikahan dini di DIY mencapai 1.705 kasus. (EDUWARA/Setyono)

Eduwara.com, JOGJA – Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) Umi Listyaningsih sepakat bahwa pembelajaran online selama masa pandemi Covid-19 berdampak nyata naiknya pernikahan dini di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selama dua tahun pandemi, angka pernikahan dini di DIY pada 2020 tercatat mencapai 948 kasus, kemudian pada 2021 turun pada angka 757 kasus. Namun angka pada kedua tahun tersebut bila dibandingkan dengan 2019 yang tercatat 394 kasus, angkanya naik dua tiga kali lipat.

"Kalau Covid saya sepakat ini menjadi faktor terbesar meningkatnya angka pernikahan dini pada dua tahun terakhir di Yogyakarta. Data yang disampaikan dalam hasil kajian akhir pernikahan usia anak menjadi buktinya," kata Umi pada Jumat (16/9/2022).

Umi hadir sebagai salah satu narasumber dalam acara yang diselenggarakan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (P3AP2) DIY yang merilis laporan akhir kajian studi pernikahan usia anak.

Penelitian yang melibatkan 400 narasumber dari usia 15-49 ini diketuai oleh Warih Andan Puspitosari. Dilaporkan, pada 2019 angka pernikahan dini mencapai 394 kasus. Kemudian naik 200 persen pada 2020 sebanyak 948 kasus, sedangkan perkawinan anak terjadi sebanyak 757 kasus pada tahun 2021.

Umi menegaskan dari data itu terlihat jelas bagaimana dampak pandemi ini berdampak luar biasa pada peningkatan pernikahan dini yang mencapai lebih dari 500 orang sendiri. Hal ini karena selama pembelajaran di rumah, anak-anak diberi keluasaan dalam mengakses internet tanpa pengawasan dari orang tua.

"Bisa dikatakan selama pandemi, handphone yang mereka pegang menjadi pengganti orang tua. Di sana bisa terjadi kemungkinan mereka bertanya soal kesehatan reproduksi dan dijawab oleh teman sebaya yang tidak paham tentang kesehatan reproduksi," katanya.

Kemiskinan

Jika mengacu pada data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, disimpulkan kalangan remaja itu adalah pelaku seks aktif tetapi tidak paham tentang kesehatan reproduksi.

"Menurut saya kalau pendidikan sesuai dengan usianya, semisal di SMP, pada guru konsultasi lebih dimasifkan lagi maka ini akan memicu penurunan angka pernikahan dini," katanya.

Tidak sekadar faktor pendidikan saja, Umi mengatakan faktor kemiskinan mendorong orang tua untuk lebih cepat menikahkan anak pada usia dini untuk mengurangi beban ekonomi. Padahal jika anak gagal atau terlibat masalah dalam rumah tangga, maka ke depan mereka kembali ke orang tua dan otomatis menjadi beban tambahan.

Dalam paparannya, Warih Andan Puspitosari menyebut survei ini dilakukan sebagai upaya menganalisa serta menyusun rumusan kebijakan, strategi dan program mengatasi pernikahan usia anak di bawah usia 19 tahun. Ia menyebut meski secara nasional pernikahan dini turun dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,35 persen pada 2020 tetapi kenaikan terjadi pada sembilan provinsi, termasuk DIY.

"Dari daerah, data pada 2021 menunjukkan Gunungkidul 153 kasus, Sleman 147 kasus, Bantul 94 kasus, Kota Yogyakarta 50 kasus dan Kulonprogo 47 kasus. Empat kecamatan tergolong merah karena mengeluarkan dispensasi pernikahan dini di atas angka 20 yaitu Ngemplak dan Depok (Sleman), kemudian Semanu dan Ponjong (Gunungkidul)," jelasnya.

Warih menyebut faktor utama tingginya angka pernikahan dini karena mereka masih sangat kurang terhadap edukasi pendidikan seks di tingkat formal atau sekolah.  

Read Next