logo

Kampus

Pendidikan Tinggi Harus Kompatibel dengan Tantangan dalam Bonus Demografi

Pendidikan Tinggi Harus Kompatibel dengan Tantangan dalam Bonus Demografi
Anggota Komisi II DPR RI, M Rifqinizamy Karsayuda dalam Seminar Nasional Pembangunan Kependudukan Melalui Pendidikan Inklusif dan Berkualitas, Selasa (28/6/2022) di Auditorium Universitas Surakarta. (EDUWARA/DOK. UNSA)
Redaksi, Kampus29 Juni, 2022 20:26 WIB

Eduwara.com, KARANGANYAR – Indonesia akan mengalami surplus yang tidak sedikit dari bonus demografi pada 2024. Jika dilihat dari portofolionya, 70 persen didominasi oleh usia produktif yaitu 15-60 tahun. Usia produktif tersebut dalam konteks kependudukan ialah usia kerja yang bisa menghasilkan banyak hal.

Di sisi yang lain, usia tersebut juga menuntut peran negara serta stakeholder lain seperti swasta, termasuk dunia pendidikan. Hal itu bertujuan menyiapkan saluran pendidikan yang tepat dan akhirnya menyiapkan lapangan kerja yang baik.

Demikian intisari dari paparan Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), M Rifqinizamy Karsayuda dalam Seminar Nasional Pembangunan Kependudukan Melalui Pendidikan Inklusif dan Berkualitas, Selasa (28/6/2022). 

Seminar itu digelar oleh Program Studi (Prodi) Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Surakarta (Unsa) secara luring di Auditorium Unsa, Palur, Karanganyar.

“Yang tidak kalah penting ialah, bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi untuk kepentingan pembangunan nasional dan berdiri pada konteks global. Oleh karena itu, kata kunci dari persaingan global adalah reformasi pendidikan termasuk pendidikan tinggi di Indonesia,” ujar dia.

Kompatibel

Pendidikan tinggi, sambung dia, harus semakin kompatibel dengan tantangan-tantangan yang berkaitan dengan bonus demografi. Lulusan-lulusan perguruan tinggi setiap tahun semakin banyak. Lulusan S1 kemungkinan hampir 40 persen dari total jumlah penduduk yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).

Namun, jika dibandingkan dengan total penduduk, angka tersebut tentunya akan lebih besar. Pasalnya orang-orang sudah banyak yang bekerja dan berkuliah, begitupun lulusan S2 dan S3 juga semakin hari semakin banyak.

“Saya ketika kuliah S3 di tahun 2010-2011, yang jadi doktor masih sedikit. Sekarang hampir tiap pekan saya menerima undangan ujian terbuka dari teman-teman saya yang jadi doktor. Ini mungkin mirip dengan keadaan Bapak-Ibu yang hidup di tahun 70 hingga 80-an. Pada saat itu jadi Doktorandus sudah jadi barang mewah,” ungkap dia.

Rifqizamy melanjutkan, sekarang ini lulusan S3 sudah menjamur di mana-mana. Hal tersebut menunjukkan pendidikan yang semakin terbuka, ditambah banyaknya beasiswa. Tinggal mau atau tidak untuk mengakses semua hal itu.

Negara, termasuk juga DPR RI diberikan kewajiban oleh konstitusi Untuk menyediakan 20 persen dari Anggaran Pusat Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pusat Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan. 

Selain itu, pemerintah sudah berkomitmen memberi kesempatan kepada lulusan S1 untuk melanjutkan studi magister dan doktor, dibuktikan dengan dana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang semakin banyak.

“Tinggal bagi teman-teman yang masih memakai baju almamater di ruangan ini, punya mimpi atau tidak untuk menjadi master dan doktor. Terutama di luar negeri,” ujar dia. (K. Setia Widodo)

Read Next