logo

Kampus

Perspektif Gender dan Inklusivitas Penting dalam Pengelolaan Hutan Lestari

Perspektif Gender dan Inklusivitas Penting dalam Pengelolaan Hutan Lestari
Dekan FISIP UNS Solo, Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dalam Kelas Intensif Virtual: Tantangan dan Peluang Undang-Undang Cipta Kerja dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan, Selasa (12/4/2022). (EDUWARA/Humas UNS)
Redaksi, Kampus13 April, 2022 19:10 WIB

Eduwara.com, SOLO – Pengelolaan hutan lestari harus mempertimbangkan aspek gender dan inklusi sosial. Aspek gender perlu dipertimbangkan mengingat rasio perempuan di dunia mendominasi dengan presentase 52 persen. Selain itu, kontribusi perempuan dalam perekonomian akan berdampak pada perekonomian global.

Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS, Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dalam Kelas Intensif Virtual bertemakan Tantangan dan Peluang Undang-Undang Cipta Kerja dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan, Selasa (12/4/2022).

Acara yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo bekerja sama dengan Inspirasi Tanpa Batas (INSPIRIT) dan Program Kehutanan Multipihak 4 (MFP4) itu merupakan bagian dari Pengembangan Community of Practice (COP) Enabler (Engage all Actors for Sustainable Growth).

Ismi melanjutkan, inklusi sosial berarti memastikan orang-orang yang terpinggirkan secara sosial memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan hak asasi dan potensi penuh. Hal tersebut akan memberi kontribusi pada pembangunan nasional, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kelompok yang dimaksud yakni perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, masyarakat adat, dan kelompok marjinal.

“Kita dapat menempuh jalan partisipatif yakni dengan melibatkan kelompok tersebut dalam semua tahapan pembangunan dari perencanaan hingga evaluasi,” ujar Ismi seperti dilansir Eduwara.com, Rabu (13/4/2022) dari laman web resmi UNS Solo.

Hal itu, sambung Ismi, berkaitan dengan salah satu bentuk pengelolaan hutan yang memiliki sifat hasil yang lestari. Bentuk tersebut adalah terjaminnya fungsi sosial ekonomi budaya bagi masyarakat.

Pembangunan inklusif dalam pengelolaan hutan lestari perlu komitmen pihak yang bersangkutan dari level daerah hingga internasional. Pihak yang bersangkutan di antaranya pemegang kebijakan, perencana dan pengelola program, perusahaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sebagainya.

“Strategi yang bisa dipilih yakni pengarusutamaan gender dan affirmative action. Strategi tersebut didukung dengan pendekatan pasar sehingga bisa menghasilkan output yang diperlukan yakni pengelolaan hutan secara adil dan setara gender serta inklusif,” imbuh dia.

Selain itu, kolaborasi heksaheliks (hexa-helix) dan kepemimpinan agile berperspektif gender dapat dilaksanakan dalam hal ini. Kolaborasi heksaheliks melibatkan enam komponen utama yakni komunitas, pemerintah, media massa, regulasi hukum, pendidikan, dan dunia industri. Menurut dia, kolaborasi tersebut dinilai jitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. (K. Setia Widodo/*)

Read Next