logo

Art

Yuk! Kenali Budaya Sensor Mandiri dan Kriteria Film untuk Anak

Yuk! Kenali Budaya Sensor Mandiri dan Kriteria Film untuk Anak
Dra. Rita Sri Hastuti dalam Webinar Nasional Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri: Kearifan Budaya Nunsantara pada Film Anak dan Masa Depan Perfilman Nasional, Kamis (14/7/2022). (Istimewa)
Redaksi, Art15 Juli, 2022 13:36 WIB

Eduwara.com, SOLO – Lembaga Sensor Film (LSF) mengimbau masyarakat untuk mengenal Budaya Sensor Film di lingkungan keluarga dengan memilih film yang sesuai dan mendampingi anak-anak saat menonton. 

Demikianlah yang disampaikan oleh Ketua Subkomisi Data, Pelaporan, dan Publikasi LSF Rita Sri Hastuti dalam Webinar Nasional Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri: Kearifan Budaya Nusantara pada Film Anak dan Masa Depan Perfilman Nasional, Kamis (14/7/2022). 

“Jujur saja, banyak orang tua yang membawa anak-anaknya menonton film yang seharusnya ditonton oleh orang tuanya. Apabila ditegur oleh pihak resepsionis atau petugas keamanan, para orang tua bilang oh ini kan anak saya, saya yang bayar. Jadi tidak memperhatikan apakah tepat anak-anak menonton film tersebut,” kata dia.

Menurut Rita, permasalahan yang dihadapi ialah jumlah film atau tontonan yang patut ditonton oleh anak-anak.  Selama 2021, film yang masuk ke Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) yang dapat diklasifikasikan untuk semua umur hanya sekitar 12 persen. Sementara 2022 sampai sekarang baru sekitar 9,73 persen.

“Hal ini menunjukkan produksi film berkategori semua umur masih sangat kurang, dan anak-anak belum dianggap sebagai penonton yang diharapkan,” jelas dia.

Lebih lanjut, Rita mengatakan secara umum kriteria film anak tercantum dalam Peraturan Lembaga Sensor Film RI Nomor 5/2016 tentang pedoman penetapan klasifikasi film dan iklan film berdasarkan penggolongan usia penonton.

“Pedoman tersebut di antaranya tidak mengandung adegan, dialog/monolog/narasi yang menggambarkan, mendorong, mengesankan baik secara implisit dan eksplisit pada anti agama dan anti Tuhan. Kemudian tidak mengandung adegan, dialog/monolog/narasi yang bertentangangan dengan nilai-nilai akhlak, etika, dan moral”

Selain itu, sambung dia, tidak mempertontonkan adegan visual, dialog/monolog yang dapat mendorong penonton tidak mencintai tanah air. Tidak mempertontonkan adegan visual, dialog/monolog yang menghina, menistakan, menodai, melecehkan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, Lambang negara atau simbol-simbol negara.

“Jadi intinya, mari kita memproduksi film yang tepat untuk anak-anak kalau kita menginginkan mereka mendapatkan hal-halyang baik. Kemudian mari kita melakukan sensor mandiri demi masa depan anak cucu kita,” pungkas dia. (K. Setia Widodo)

Read Next