Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA—Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus berupaya menghapus “tiga dosa besar” di dunia pendidikan, yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.
Dikutip dari siaran pers Kemendikbudristek pada Kamis (18/11/ 2021), Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim menyampaikan komitmennya bahwa segala bentuk intoleransi tidak akan dibiarkan terjadi dalam sistem pendidikan.
"Prakondisi dari pembelajaran adalah perasaan aman psikologis bagi para murid dan guru-gurunya," tegas Mendikbudristek dalam acara Indonesia Town Hall yang bertema "Tak Kenal Maka Tak Sayang" pada peringatan Hari Toleransi Internasional, pada Selasa (16/11/ 2021).
Lebih lanjut Nadiem mengatakan, hubungan psikologis antara guru, orang tua, dan teman di sekitar kampus, memegang peranan penting dalam keberlangsungan ekosistem pembelajaran yang kondusif.
Oleh karena itu, ekosistem yang tidak kondusif seperti hal-hal intoleran yang terjadi didalamnya, tidak boleh dibiarkan ada di lingkungan pendidikan. "Masa depan dia [korban] terancam, dengan adanya trauma yang diakibatkan dosa besar tersebut," lanjutnya.
Berikutnya, terkait Asesmen Nasional, kebijakan ini adalah inisiatif Kemendikbudristek dalam mewujudkan lingkungan belajar yang bebas dari diskriminasi.
Dalam menghasilkan pemetaan yang objektif, mekanisme AN dilakukan melalui teknik sampling untuk mengambil data yang dibutuhkan. Pertanyaan yang tersaji tidak hanya sebatas numerasi dan literasi, namun survei karakter dan lingkungan belajar.
Nadiem menyampaikan bahwa pada AN, murid dan guru akan ditanyakan mengenai nilai pancasila dan tingkat keamanan mereka di lingkungan sekolah.
Selanjutnya, kebijakan kementerian juga merambah pada nilai-nilai keberagaman dan toleransi. Hal ini terlihat pada program Kampus Merdeka dan pertukaran pelajar baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Menurut pendiri Gojek itu, berbagai cara dapat dilakukan untuk menanamkan toleransi. Guru dapat dijadikan panutan dalam bertoleransi yang ditujukan kepada anak didiknya untuk merangkul seluruh keberagaman yang ada.
Lebih lanjut, Nadiem menyatakan bahwa kementerian selalu memperjuangkan hak-hak kemerdekaan beragama, baik itu bagi peserta didik dan tenaga pendidik.
Senada dengan itu, Sekretaris Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa keberagaman merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan siapapun berhak memiliki cara pandang yang berbeda tentang suatu kebajikan.
“Peniadaan prasangka, tidak boleh ada paksaan. Kita harus berbuat adil kepada sesama, ini merupakan basis ajaran fundamental dalam Islam,” tekannya.
Kemudian, Rohaniwan Katolik, Franz Magnis Suseno menambahkan bahwa pengenalan terhadap latar belakang orang lain diperlukan supaya masing-masing individu dapat saling menghormati keyakinan satu sama lain.
Franz mengingatkan, agar seluruh lapisan masyarakat mawas diri dengan keragaman yang terjadi di sekitarnya. Ia menekankan bahwa tidak selalu yang berbeda itu mengancam, mencurigakan, atau membahayakan. Meskipun tingkat kewaspadaan juga harus senantiasa kita utamakan.
Tak ketinggalan, Sekretaris Jenderal Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Endang Retno Lastani menyampaikan bahwa dengan menjadi pancasilais berarti itu adalah wujud toleransi.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, keluarga harus mengajarkan dan menghargai perbedaan, melakukan interaksi dan berkenalan dengan orang yang berbeda-beda.
Sebagaimana yang disampaikan Guru Besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar yakni I Nengah Duija bahwa seluruh yang hadir di alam semesta adalah satu jiwa. Maka, toleransi sebenarnya membicarakan tentang diri sendiri. “Jika diri sendiri baik, maka kita harus baik dengan orang lain,” tuturnya.
Tokoh agama Budha YM. Bhikhuni Santini Maha Theri menyampaikan harapannya agar semua agama dapat berpikir terbuka dan mampu menumbuhkan kayakinan dalam mencapai kesempurnaan di dalam samudera kehidupan masing-masing.
Berikutnya, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indoneia, Budi Santoso Tanuwibowo, turut menambahkan. “Di empat pejuru lautan semua manusia bersaudara, jika kita beragama maka kita harus dekat dengan kemanusiaan, dan menjalin hubungan harmonis antara Tuhan, maupun sesama, beserta alam,” ujarnya.