Kampus
31 Januari, 2022 16:08 WIB
Penulis:Bunga NurSY
Editor:Bunga NurSY
Eduwara.com, BANDUNG—Ujaran kebencian yang bertebaran di media sosial tidak muncul begitu saja, melainkan ada proses yang melatarbelakanginya.
Hal itu diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Atwar Bajari dalam risetnya mengenai fenomena ujaran kebencian pada komentar di media sosial di Indonesia, khususnya Facebook.
Secara singkat riset tersebut disampaikan Atwar pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Ujaran Kebencian dalam Kultur Media Sosial” yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (29/1/2022).
Dalam melakukan riset, Prof. Atwar berfokus pada dua isu, yaitu seputar Pilpres 2019 serta penanganan pandemi Covid-19. Ia menganalisis 11.504 komentar dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif untuk melihat seberapa jauh ujaran kebencian tersebut muncul dalam ruang media sosial.
Dia memaparkan, awal mula kemunculan dari ujaran kebencian di Facebook dipicu dari sebuah peristiwa yang diproduksi menjadi suatu berita. Berita yang diproduksi bisa saja benar atau bahkan bisa menjadi palsu (hoaks).
Berita tersebut kemudian dikomentari tokoh elit, pemengaruh (influencer), atau pendengung (buzzer) melalui status yang diunggah di akun media sosialnya. Unggahan tersebut kemudian direspons oleh pengikutnya. Komentar yang dihasilkan bisa berupa ujaran kebencian ataupun bukan.
“Begitu menyusun statusnya di ruang timeline, biasanya dimulailah produksi ujaran kebencian oleh para netizen,” katanya seperti dikutip dari situs resmi Unpad, Senin (31/12/2022).
Di media sosial Facebook, Atwar menemukan bahwa ujaran kebencian dari kolom komentar suatu akun cenderung dua arah. Sebagai contoh, ketika kelompok pro-pemerintah melemparkan satu isu tertentu, maka pihak lain, dalam hal ini oposisi, akan melawan isu tersebut. “Jika saya perhatikan, komentar ini seolah-olah seperti obrolan yang secara langsung,” ujarnya.
Menariknya, kendati status yang diunggah kelompok tersebut bersifat netral, atau tidak ada tendensi yang mengarah ke isu tertentu, komentar yang bernada ujaran kebencian tetap dapat ditemukan.
“Terkadang akun-akun pro-pemerintah atau oposisi tidak selamanya melemparkan kritik, tetapi pada praktiknya tetap saja bisa menimbulkan serangan dalam bentuk kata-kata yang menyinggung dalam bentuk komentar netizen,” paparnya.
Sementara itu, pada isu penanganan Covid-19, Atwar memetakan 10 isu unggahan di Facebook. Pemetaan isu tersebut dilakukan terhadap akun pro-pemerintah dengan akun oposisi. Nyatanya, hampir setiap unggahan akan menimbulkan respons ujaran kebencian.
Beberapa isu yang memiliki ujaran kebencian tertinggi adalah pada respons pada pemerintah lokal, kebijakan protokol kesehatan, hingga isu-isu agama tertentu. “Komposisinya tidak jauh berbeda. Apapun yang dituliskan oleh admin [dari dua akun tersebut], selalu menimbulkan ujaran kebencian walaupun dalam jumlah sedikit,” imbuhnya.
Jika diklasifikan, jenis kata yang dilontarkan biasanya merupakan kelompok kata yang bersifat menjijikan, kasar, hingga pembodohan. Lontaran kata-kata ini bertujuan untuk melakukan penghinaan, intimidasi, tuduhan, sumpah serapah, mempromosikan kekerasan.
Bagikan