Kampus
21 Januari, 2022 20:57 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA – Dua peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) sepakat bahwa perkembangan Metaverse dan Non-fungible Token (NFT) di Indonesia bakal terkendala dalam aspek data pribadi.
Pandangan ini disampaikan peneliti Dewa Ayu Diah Angendari dan Iradat Wirid melalui rilis yang diterima Eduwara.com pada Jumat (21/1/2022).
"Masih perlu waktu mewujudkan Metaverse di Indonesia. Terlebih masih terdapat beberapa isu yang berpotensi muncul ketika Metaverse benar-benar digunakan," kata Diah di awal rilis.
Kendala pertama yaitu mengenai kebocoran data privasi yang sering kali terjadi di Indonesia. Kemudian kendala lain adalah infrastruktur, dimana dibutuhkan jaringan internet 5G untuk lancar berselancar di Metaverse.
"Pengadopsian 5G di Indonesia masih terbatas. Sedangkan isu ketiga adalah mahalnya harga VR dan AR, alat yang dibutuhkan untuk membuat fundamental dari Metaverse," ucapnya.
Dirinya mengingatkan bahwa visi membangun dunia digital paralel seperti Metaverse yang didengungkan oleh beberapa pejabat publik menjadi alarm bagi Indonesia atas berbagai pekerjaan rumah terkait transformasi digital yang menyangkut aspek literasi digital, perlindungan data, peningkatan kapasitas dan pengetahuan di bidang teknologi digital, hingga digital divide.
Persoalan perlindungan data pribadi juga disampaikan Iradat Wirid. Meski dirinya melihat NFT sebagai sebuah potensi teknologi besar yang mampu untuk mendukung keunikan dan kepemilikan terhadap sebuah aset digital. Namun NTF dibarengi dengan ancaman-ancaman lain.
"Seperti pencurian karya digital dan data pribadi. Ancaman ini pun menjadi kenyataan, apabila kondisi masyarakat Indonesia yang gagap literasi digital melihat NFT ini sebagai arena investasi dalam waktu singkat, alias cuan," ujarnya.
Melihat perkembangan NFT di Indonesia, Wirid mengungkapkan perlu ada regulasi yang mengawasi perkembangan jual-beli NFT di Indonesia. Ini demi kepentingan perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia.
"Ironis teknologi blockchain dan NFT yang sebenarnya berkembang atas dasar kebebasan dari pihak ketiga sebagai regulator (alias pemerintahan). Kini perlu dibarengi pihak ketiga agar pasar NFT tidak menjadi terlalu liar dan membahayakan orang," paparnya.
Bagikan