Gagasan
17 Maret, 2022 18:33 WIB
Penulis:Bhakti Hariani
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JAKARTA – Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai transparansi dan akuntabilitas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam hal pengelolaan anggaran kepada publik sangat rendah.
Peneliti ICW Dewi Anggraini menuturkan, transparansi dan akuntabilitas Kemendikbudristek dirasakan kontras dengan banyaknya raihan penghargaan yang didapatkan Kemendikbudristek, di antaranya adalah Penghargaan Top 5 Kepatuhan Tinggi Standar Pelayanan Publik 2021 dari Ombudsman RI dengan penilaian tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas.
“Kemendikbudristek tak cukup transparan kepada publik dalam pengelolaan anggarannya. Kami tidak mendapatkan informasi rincian anggaran setiap programnya. Pagu APBN pun tidak diinfokan di website. Rencana kerja belum ada. DIPA 2022 pun belum ada. Ringkasan laporan pada tahun 2021 juga belum ada. Banyak hal terkait anggaran belum disertakan di situs resmi Kemendikbudristek. Kita tidak bisa mendapatkan itu semua di situs resmi Kemendikbudristek,” papar Dewi dalam Diskusi Publik “Rapor Merah Kinerja Mendikbudristek Nadiem Makarim” yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting, Kamis (17/3/2022).
Lebih lanjut diungkap Dewi, anggaran program Merdeka Belajar yang menjadi andalan Kemendikbudristek juga tak terpaparkan dengan jelas dalam situs resmi Kemendikbudristek. Untuk mendapatkan detail pendanaan dan besarnya anggaran, ICW memperolehnya dengan cara menonton kanal YouTube Komisi X DPR RI yang berisikan rapat Kemendikbudristek bersama Komisi X DPR RI.
“Kalau mau tahu detail anggarannya ya harus menonton video itu full dua jam. Itu pun jika ingin melihat besaran anggarannya, harus di –screen shoot- dan disetop dulu videonya, maka baru bisa detail terbaca. Sungguh sangat disayangkan cara memperoleh data terkait anggaran Kemendikbudristek harus dilakukan dengan cara seperti ini,” tutur Dewi.
Pentingnya transparansi tata kelola anggaran program Merdeka Belajar, menurut Dewi, tidak hanya sebagai implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Penjelasan pengelolaan dana-dana yang terkait dengan Program Merdeka Belajar, penting dilakukan dalam rangka pencegahan penggunaan yang tidak tepat guna dan penyalahgunaan.
Program ini, lanjut Dewi, memiliki kerentanan tersendiri terhadap praktik korupsi ataupun kecurangan lainnya. Kecurangan tersebut potensial muncul baik dalam tahapan penilaian proposal, penggunaan, dan pertanggungjawabannya.
Pasalnya, berdasarkan kajian ICW, kata Dewi, tren penindakan kasus korupsi yang dirilis setiap tahun selalu menunjukkan sektor pendidikan yang paling banyak ditindak aparat penegak hukum dan menempati top five (lima teratas).
“Sepanjang tahun 2016 hingga September 2021, ICW mencatat ada 240 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 1,6 triliun. Ini setara dengan pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk 1,46 juta siswa sekolah dasar atau membangun lebih dari tujuh ribu Ruang Kelas Baru (RKB) di wilayah Papua,” ungkap Dewi.
Dalam pemaparannya, ICW menyimpulkan bahwa penghargaan yang diraih Kemendikbudristek dalam hal transparansi dan akuntabilitas tidak cukup transparan dan akuntabel kepada publik. Informasi rincian dan realisasi anggaran, hasil evaluasi program, dan laporan program yang komprehensif belum tersedia di website Kemendikbudristek.
“Masalah ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dianggap sebagai pihak yang penting mengetahui informasi mengenai hal tersebut. Padahal masyarakat dapat berperan positif dalam melakukan pengawasan,” pungkas Dewi.
Bagikan