logo

EduBocil

Kembangkan Talenta Anak Penyandang Disabilitas Ala Sanggar Difabel Solo

Kembangkan Talenta Anak Penyandang Disabilitas Ala Sanggar Difabel Solo
Penampilan fashion show Sanggar Difabel Solo dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional di YPAC Solo, baru-baru ini. (Istimewa)
Redaksi, EduBocil22 Desember, 2022 15:42 WIB

Eduwara.com, SOLO – Setiap anak memiliki bakat dan talenta masing-masing baik menari, menyanyi, fashion show, modeling, akting, dan lainnya. Bakat dan talenta itulah yang ingin dikembangkan Yayasan Peduli Difabel Indonesia melalui Sanggar Difabel Solo.

Ketua Sanggar Difabel Solo Maria Yeti Asri Saputri menuturkan pada awalnya, sekitar2012 Sanggar Difabel Solo bertempat di kediamannya di daerah Colomadu, Karanganyar. Putri, sapaan akrabnya kemudian membuka butik di Palur Plasa dan memindahkan sanggar di situ.

“Sekitar tahun 2015 di samping menjaga butik, saya izin menggunakan lantai 3 Palur Plasa untuk dijadikan sanggar. Awalnya hanya modeling school dengan dua kelas untuk anak penyandang disabilitas dan nondisabilitas. Untuk anak nondisabilitas kami suruh bayar, namun untuk penyandang disabilitas kami gratiskan total. Dari subsidi silang itu bisa membeli kostum, kaca, dan sebagainya,” kata dia kepada Eduwara.com, Rabu (21/12/2022) di Sanggar Difabel Solo, Sondakan, Laweyan.

Sekitar 2017, lanjut Putri, dibuka cabang baru di Hartono Trade Center Solo Baru untuk kelas akting serta dance. Di lantai atas juga digunakan untuk latihan atlet National Paralympic Center (NPC) sehingga semakin ramai.

Pandemi Covid-19 turut memberi imbas terhadap keberlangsungan sanggar seperti biaya sewa tempat. Akhirnya, Putri memindahkan Sanggar Difabel Solo ke kediamannya di Jalan Madubrongto Nomor 8, Sondakan, Laweyan, Solo. Di kediamannya itulah, Sanggar Difabel Solo bertempat hingga sekarang.

“Di sini akhirnya berkembang banyak kelas. Mulai dari kelas K-Pop, kelas memasak, hypnotheraphy, yoga, terapi wicara. Hingga kini total ada 18 kelas dan murid yang terdaftar sebanyak 83 anak. Mereka berasal dari Solo Raya , bahkan ada yang dari Semarang dan Jogja,” tambah dia.

Dalam satu kelas, Putri menetapkan hanya diikuti maksimal 10 anak dan tidak menutup kemungkinan satu anak mengikuti dua kelas. Namun jika ada pertemuan mendadak bisa terkumpul sebanyak 30-50 anak. Selama sepuluh tahun, selain mengembangkan bakat dan talenta anak, pihaknya terus berkarya secara mandiri, kepada pemerintah hanya sebatas urusan administrasi.

Secara berkala sanggar juga dikunjungi dinas sosial, dinas pendidikan, bahkan kelurahan. Segala kegiatan yang diselenggarakan, pihaknya pasti menginfokan kepada seluruh pihak. Sehingga dengan membuka diri, seluruh kegiatan di Sanggar Difabel Solo tidak eksklusif, tapi inklusif karena mengundang seluruh pihak terkait.

“Sejak awal, saya membuka dua kelas untuk difabel dan nondifabel. Secara tidak langsung, ini mengajarkan kepada anak-anak untuk berbaur. Saya tidak pernah mengajarkan kepada anak-anak kalau yang difabel bermain dengan yang difabel maupun sebaliknya. Tidak seperti itu, kalau bermain ya bersama-sama. Pembauran seperti ini bisa menumbuhkan rasa empati dan rasa sosial yang tinggi untuk memahami dan memahami sesama,” beber dia.

Putri menambahkan, walaupun bersekolah di SLB masing-masing, mereka mempunyai mentalitas yang lebih baik, tidak egois dan keras kepala. Di sekolah sudah diberi pengertian, sehingga rasa toleransinya bagus.

“Misalnya sanggar rutin mengadakan buka bersama maupun halal bi halal, padahal murid di sini ada yang Katolik maupun Kristen. Tetapi hal ini menjadi salah satu contoh bertoleransi. Begitu pula ketika Natal, anak-anak yang muslim juga mengucapkan selamat natal,” tambah dia.

Difabel Cafe

Kini Sanggar Difabel Solo juga merambah ke ranah kuliner yakni kafe. Pembuatan kafe dilatarbelakangi oleh banyaknya anggota sanggar yang sudah dewasa dan berkeinginan untuk mandiri namun terkendala dalam mendapatkan pekerjaan.

“Ada yang melamar pekerjaan di 20 tempat tapi tidak ada panggilan, sudah berupaya di mana-mana namun tidak bisa kerja. Sedangkan dari teman-teman merasa sudah dewasa dan ingin hidup mandiri, tidak selalu menggantungkan kepada orang tua, bahkan ingin membalas budi kepada orang tua,” ujar dia.

Oleh karena itu, Putri berinisiatif untuk mencari produk yang mudah dibuat oleh teman-teman penyandang disabilitas. Pada tahun 2018, sedang marak kuliner berupa kafe. Maka dia meminta bantuan temannya untuk mendesain garasi untuk dijadikan kafe. Putri bahkan menjual beberapa barang berharganya untuk membiayai pembuatan kafe tersebut.

“Saat itu kami membeli franchise Kopi Nusantara. Kami juga diberi pelatihan dari pihak Kopi Nusantara berupa cara memberi wing, menyeduh, dan semuanya, sehingga teman-teman yang sudah siap kerja bisa menyajikan kopi dengan spesial. Seiring berjalannya waktu, kami kombinasikan antara Sanggar Difabel dan Cafe. Kalau di sanggar ada pelatihan, para orang tua bisa nongkrong di kafe,” jelas dia.

Baik produk yang dijual maupun tempat yang representatif, sambung dia, tidak sekadar ecek-ecek. Maka dia berharap dengan dibukanya Kafe Difabel dapat menaikkan rasa percaya diri, bisa bekerja dengan baik, dan happy. Kemudian bagi masyarkat sekitar bisa membaca, melihat, serta mau mampir agar ikut melarisi karena gaji mereka tergantung dari ramai sepinya pengunjung.

Lebih lanjut, Kafe Difabel mengusung konsep makan minum sepuasnya bayar seikhlasnya. Menurut Putri, konsep tersebut berangkat dari pemikiran bahwa hidup di dunia adalah kesempatan untuk berbuat baik.

“Dengan konsep itu, kalau kita makan atau minum habis Rp20 ribu dan membayar lebih banyak berarti kita diberi kesempatan untuk beramal. Membayar pun di kotak amal, kami tidak punya kasir. Sehingga berapa yang dibayar kami tidak tahu apakah lebih atau kurang. Kalau membayarnya kurang, saya harus berterima kasih kepada pembeli karena memberi kesempatan bagi saya untuk beramal. Jadi nothing too lose in my life, ikhlas saja. Buktinya dari Juli 2018 hingga sekarang, Difabel Cafe masih eksis,” terang dia.

Putri berharap, seluruh anggota Sanggar Difabel Solo maupun Difabel Cafe nantinya bisa mandiri dan sukses. Menurut dia, mandiri versi penyandang disabilitas berbeda dengan orang lain karena patokan keberhasilan berbeda-beda.

“Minimal bisa mandiri untuk dirinya sendiri, syukur-syukur bisa memandirikan orang lain. Tidak perlu harus bersaing namun saling mendukung untuk kesuksesan bersama. Kemudian semoga ke depannya perhatian dan kepedulian pemerintah dan seluruh masyarakat, menjadikan orang-orang luar biasa ini lebih luar biasa, bisa bekerja sama, dan hidup berdampingan, saling memberkati, dan saling memberi manfaat,” pungkas dia. (K. Setia Widodo)

Read Next