Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA – Mengonsumsi nasi terlalu banyak, selain dapat menyebabkan diabetes karena kandungan gula yang terdapat didalamnya, juga berimbas pada peningkatan emisi gas rumah kaca dan mendorong kerusakan lingkungan.
Minimnya pergerakan tubuh di masa pandemi Covid-19 menyebabkan obesitas yang berpotensi menjadi penyakit serius seperti diabetes, jantung dan kanker. Bergerak selama 30 menit setiap hari dapat membuat tubuh tetap sehat, selain itu harus mengurangi konsumsi karbohidrat.
Alvi Muldani, dokter dan relawan di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) mengatakan, faktor penyebab penyakit diabetes di Indonesia, di antaranya konsumsi kalori lebih besar dibandingkan kebutuhan dan kurangnya aktivitas tubuh seperti mengkonsumsi nasi berlebih namun tidak diiringi aktivitas fisik yang cukup.
Alvi berpandangan Indonesia memiliki ragam karbohidrat yang lebih minim risiko terhadap diabetes selain nasi putih dan memiliki indeks glikemik rendah. Contohnya adalah nasi merah yang memiliki serat lebih baik, sagu, kentang utuh, kacang-kacangan, dan sayur-mayur.
Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Mengurangi konsumsi nasi ternyata juga memiliki kaitan dengan pengurangan emisi gas rumah kaca. Mulia Nurhasan dari Food and Nutrition Scientist Center for International Forestry Research /CIFOR menuturkan, produksi beras menghasilkan gas rumah kaca yang cukup tinggi. Peningkatan gas rumah kaca yang terlalu tinggi telah menyebabkan perubahan iklim.
“Apalagi banyak lahan sawah sudah mulai menyusut, menanam padi di lahan-lahan baru yang tidak cocok untuk tanaman padi bisa menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang besar. Akhirnya konsumsi nasi kita yang tinggi, turut memperburuk kerusakan alam dan menciptakan masalah sosial,” ujar Mulia kepada Eduwara.com, Senin (20/12/2021).
Dipaparkan Mulia, dalam Our World in Data pada Juni 2021, pada tahun 2020, dunia mengeluarkan sekitar 34.81 miliar ton gas CO2, sebanyak 589.50 juta ton di antaranya dari Indonesia.
“Gas CO2 adalah gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan dari aktivitas manusia. Produksi beras per kilogramnya menghasilkan 4,45 kilogram ton gas rumah kaca. Nilai ini termasuk yang paling besar di antara tumbuhan pangan lainnya,” papar Mulia.
Sementara itu, umbi-umbian dan singkong, yang juga pangan pokok, menghasilkan jauh lebih kecil gas rumah kaca dari pada beras per kilogramnya. Singkong hanya menghasilkan sekitar 1,32 kilogram gas rumah kaca.
Selain singkong dan umbi-umbian, sumber karbohidrat lain yang juga tumbuh di Indonesia juga menghasilkan gas rumah kaca jauh lebih kecil dari beras, di antaranya, kentang sekitar 0,46 kilogram, jagung sekitar 1,7 kilogram, dan pisang sekitar 0,86 kilogram.
Ironi Food Estate
Namun demikian, diungkap Mulia, faktanya pemerintah akan membuka lahan baru melalui program food estate, salah satunya di Kalimantan dan Papua. Di wilayah Kalimantan Tengah, food estate dibangun pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) yaitu di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas dengan luas 30,000 hektar.
“Berdasarkan data WALHI, di Papua akan dialokasikan lahan food estate antara lain, sekitar 1,01 juta hektar di Merauke, 400,000 hektar di Mappi, 32,000 hektar di Boven Digoel, dan 4,650 hektar di Yahukimo yang mendapat kritik dari para aktivis lingkungan karena mengancam keragaman hayati dan hak-hak masyarakat adat,” papar Mulia.
Lahan pertanian produksi beras terbukti menghasilkan emisi methane (CH4) cukup tinggi, sehingga berkontribusi pada tingginya emisi gas rumah kaca. Selain itu, lanjut Mulia, berdasarkan penelitian, produksi beras dalam skala massal dan intensif juga cenderung menciptakan ketahanan pangan yang rentan terhadap perubahan lingkungan, seperti serangan hama dan bahkan perubahan iklim.
Studi yang dilakukan CIFOR pada Juni 2021 bertajuk “Mengaitkan Pangan, Gizi, dan Lingkungan Hidup di Indonesia: Sebuah Perspektif mengenai Sistem Pangan Berkelanjutan”, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman hayati tinggi.
“Sayangnya, konsumsi makanan di masyarakat saat ini malah makin berkurang keragamannya. Cita-cita mencapai gizi seimbang dari pangan yang beragam jadi sulit dicapai karena makanan kita hanya itu-itu saja” tutur Mulia.
Mulia menyarankan agar masyarakat Indonesia berusaha mengonsumsi pangan yang lestari, atau berkelanjutan (sustainable diet) menjadi penting agar setiap orang bisa berkontribusi langsung pada keberlanjutan sistem pangan, termasuk mengurangi efek rumah kaca dan bahkan perampasan hak-hak masyarakat lokal.
“Mari kita mulai mengurangi makan nasi, dan menggantikan porsi yang dikurangi dengan makanan tinggi asupan zat gizi mikro, seperti berbagai jenis ikan, dan berbagai macam sayuran berwarna-warni, bukan hanya baik untuk kesehatan, tapi juga untuk kelestarian alam,” pungkas Mulia.