Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SOLO -- Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya pada Pasal 59 menyebutkan bahwa anak korban kekerasan dan eksploitasi seksual termasuk dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Kekerasan dan eksploitasi seksual menjadi salah satu penyebab perkawinan pada usia anak.
Berangkat dari hal itu, Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK) didukung oleh Hutama Karya Persero bersama dengan Pemerintah Kota Solo, Pemuda Penggerak, Pemuda Pemutus, serta Forum Anak Solo melakukan Kampanye Stop Kekerasan dan Eksploitasi Seksual dengan tema Kenali dan Hindari pada Minggu (24/7/2022).
Kampanye dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tersebut dilakukan dalam gelaran Car Free Day (CFD) Kota Solo.
Ketua Yayasan KAKAK, Shoim menyampaikan untuk menekan dan menghapuskan kejahatan seksual perlu kolaborasi dengan banyak pihak.
"Anak sendiri harus dikuatkan sehingga memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari kekerasan dan eksploitasi seksual. Media sosial yang sangat dekat dengan anak mengantarkan mereka menjadi korban. Pelaku mendekati anak dengan merayu yang membuat anak akhirnya memberikan apapun yang diminta pelaku. Anak perlu mengenali dan kemudian memiliki skill untuk bisa menghindari," ujar Shoim dalam siaran pers yang diterima Eduwara.com, Minggu (24/7/2022).
Kekerasan dan eksploitasi seksual, sambung dia, menjadi salah satu penyebab perkawinan pada usia anak. Pada 2021, Yayasan KAKAK menjangkau 35 anak dengan kategori 13 kasus berproses hukum dan 22 anak dijangkau untuk mendapatkan psikososial, untuk menyiapkan diri bertemu dengan keluarga.
Korban berusia 13- 15 tahun sebanyak 46 persen, disusul umur 16-18 tahun sebanyak 31 persen, di bawah 6 tahun 15 persen dan usia 8-12 tahun sebanyak 8 persen. Sedangkan 62 persen pelaku didominasi oleh pacar, dengan modus bujuk rayu sehingga korban tidak berdaya dan mengikuti kemauan pelaku. Modus tersebut juga membuat proses hukum menjadi lebih sulit karena korban justru membela pelaku.
Tanggung Jawab Bersama
Tidak semua kasus kekerasan seksual dan eksploitasi seksual berproses hukum, ada sebagain kasus yang memilih untuk damai atau bahkan menikah. Hal itu yang menyebabkan angka perkawinan anak tinggi.
Angka perkawinan anak ditunjukkan dari angka dispensasi perkawinan di pengadilan agama. Adapun data projectmultatuli.id menunjukkan, data dispensasi perkawinan tahun 2019 sebanyak 70, tahun 2020 yakni 143, dan Januari hingga Juni 2021 sebanyak 77.
Hal tersebut menunjukkan, salah satu yang menjadi faktor pendorong dispensasi perkawinan adalah karena anak sudah hamil, yang salah satu sebabnya karena menjadi korban kekerasan seksual.
Untuk menekan angka kekerasan seksual yang tinggi, perlu peran dari banyak pihak, mulai dari pemerintah, organisasi masyarakat, sekolah, keluarga dan anak itu sendiri.
Kemudian mengenalkan anak terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, sehingga anak mampu untuk menghindari. Menekankan nilai untuk stop menjadi korban dan stop menjadi pelaku.
Sementara itu, Kepala Dinas pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Solo, Purwanti menuturkan pencegahan kekerasan seksual menjaid tanggung jawab bersama. Jadi dibutuhkan kolaborasi.
"Salah satunya adalah unsur sekolah, di mana guru Bimbingan Konseling (BK) perlu dikuatkan sehingga bisa memberikan konseling pada anak sekolah yang mengalami korban kekerasan seksual. Kita akan memberikan penguatan pada guru BK sehingga bisa menjadi konselor untuk anak dalam situasi kekerasan seksual," ujar dia.
Pada sisi lain, Ketua Forum Anak Solo, Caca menegaskan kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja.
"Jika kita mengetahui hal yang bisa dilakukan adalah menegur, menenangkan sampai pada melaporkan. Dengan peran tersebut kita bisa melindungi seseorang yang telah menjadi korban," tegas dia. (K. Setia Widodo/*)