logo

Sekolah Kita

Begini Jadinya Jika Proses Pembelajaran Hanya Fokus ke Penuntasan Kurikulum

Begini Jadinya Jika Proses Pembelajaran Hanya Fokus ke Penuntasan Kurikulum
Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Drs. Zulfikri Ana, M.Ed., dalam Webinar Kurikulum Merdeka: Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik, Senin (4/4/2022). (Istimewa)
Redaksi, Sekolah Kita04 April, 2022 13:44 WIB

Eduwara.com, JAKARTA – Penyampaian materi pembelajaran yang berpusat pada kurikulum bisa menyebabkan kemampuan siswa tidak berkembang sesuai yang diharapkan.

Fokus pembelajaran yang terpusat pada penuntasan materi kurikulum secara tuntas, memungkinkan capaian kompetensi siswa hanya 10 persen atau 20 persen dari yang seharusnya.

Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Drs. Zulfikri Anas, M.Ed., dalam Webinar Kurikulum Merdeka: Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik, Senin (4/4/2022). Acara itu diselenggarakan Direktorat Sekolah Dasar melalui siaran langsung Youtube Ditpsdtv.

Zulfikri melanjutkan, permasalahan tersebut dikarenakan kompetensi logika dan nalar yang harus dimiliki anak tidak mencukupi. “Artinya secara usia duduk di kelas X SMA yang sudah belajar semua kompetensi dari SD, tetapi kemampuan daya nalar, analisis, literasi, numerasi setara dengan anak kelas I, II, atau III SD. Padahal usianya sudah 16 tahun saat kelas X SMA,” kata dia.

Menurut Zulfikri, hal itu yang dinamakan gap. Selama ini anak memang bersekolah, mengerjakan tugas, mendengarkan ceramah guru, mengikuti dan mengerjakan ujian, tetapi kemampuannya tidak berkembang. Mereka bersekolah namun proses belajar tidak terjadi, karena materi yang disampaikan berpusat dan dikendalikan kurikulum.

Dia menambahkan, jika berkaca dari fenomena itu, berarti learning loss bukan disebakan oleh pandemi Covid-19, melainkan karena kealfaan dalam pembimbingan kepada anak. Pendidik tidak mengetahui problem dari minggu pertama, kedua, dan seterusnya. Selain itu, materi yang disampakan hanya bertujuan menuntaskan hutang materi kurikulum.

“Kondisi seperti itu, seharusnya tidak terjadi ketika peralihan kurikulum dari yang berbasis materi menjadi berbasis kompetensi. Kurikulum berubah nama, tetapi proses yang terjadi sama seperti dulu,” tegas dia.

Perubahan Pola Pikir

Sekarang ini, jelas Zulfikri, perubahan yang diperlukan bukan pada kurikulum, namun pada pola pikir atau mindset guna membangun budaya belajar yang benar-benar berpihak kepada anak. Memberi ruang pada setiap individu anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya.

Dengan demikian, konsep merdeka harus diartikan sebagai memberikan ruang seluas-luasnya kepada anak untuk menggunakan pola pikir dengan cara belajar masing-masing sehingga menemukan jati diri sejak dini. Zulfikri menegaskan setiap anak pasti memiliki potensi yang berbeda satu sama lain, karena supaya tidak terjadi benturan di dalam kehidupan.

Setiap anak, misalnya ada 30 dalam satu kelas ada kecenderungan masing-masing. Ketika konsisten, tidak akan ada saling meremehkan, menjatuhkan, bahkan benturan, yang ada hanyalah kolaborasi. Proses pembelajaran yang fokus pada potensi masing-masing merupakan proses pembelajaran yang dirintis melalui Kurikulum Merdeka.

“Contoh sederhana yakni pengolahan sampah di sekitarnya. Di samping mengasah kepedulian, di situ anak juga berkolaborasi bersama dengan temannya. Anak yang jago matematika akan menghitung kemungkinan banyaknya sampah yang dihasilkan. Kemudian anak yang jago IPA akan menjelaskan pemilahan sampah, anak yang jago Bahasa Indonesia akan memberikan penjelasan yang baik sehingga bisa sampai di masyarakat,” tutur dia.

Budaya suasanya yang dibangun diharapkan setiap anak menyadari betul-betul sebagai manusia memiliki kemampuan yang berbeda untuk saling berkolaborasi. Hal itu menjadi inti dari Kurikulum Merdeka. Setiap satuan pendidikan diberikan ruang seluas-luasnya untuk mengolah secara teknis terkait proses pembelajaran yang berpusat pada anak. (K.Setia Widodo)

Read Next