logo

Art

Mahasiswa UGM Gelar Pameran ‘Baboe’

Mahasiswa UGM Gelar Pameran ‘Baboe’
Pameran Arsip ‘Baboe’ yang dikuratori oleh Arif Akbar Pradana digelar tanggal 8-11 Desember 2021 di Asrama Putra Jember Yogyakarta. Sebelumnya, Arif melakukan riset selama dua bulan, dimulai dengan pengumpulan sumber data, verifikasi, serta interpretasi data, kemudian menyusun dan mendisplainya dalam bentuk pameran. (EDUWARA/Humas UGM)
Redaksi, Art02 Januari, 2022 08:15 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Arif Akbar Pradana, mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Angkatan 2018 menggelar pameran arsip bertajuk ‘Baboe’ di Asrama Putra Jember di Yogyakarta. Pameran ini menghadirkan kisah perempuan pekerja rumah tangga (PRT) pada zaman kolonial Belanda.

Arif, selama satu semester mengikuti program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pameran ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Kurasi Arsip di Program Studi S1 Tata Kelola Seni, Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.

Melalui pameran, Arif memanfaatkan kesempatan dengan berbagi pengalaman yang telah didapatkan dari mengambil SKS (Satuan Kredit Semester) di luar prodi maupun di luar kampus. Ia utarakan hasil analisa dan temuannya untuk meluruskan wacana yang belum lengkap dari kehidupan seorang baboe di masa kolonial.

“Pameran ‘Baboe’ ini, selain mengafirmasi ide besar kolonial yakni eksploitasi, dominasi, dan diskriminasi, juga menunjukkan bahwa terdapat praktik-praktik humanis di dalamnya,” tutur Arif, dikutip dari laman UGM, Sabtu (01/01/2022).

Pada satu sisi, Arif menghadirkan berbagai arsip yang membenarkan fakta terkait diskriminasi hukum yang dialami para baboe pada zaman dahulu. Arif membenarkan bahwa pada masa itu, kedudukan baboe di depan hukum lebih kurang hanya sebagai objek, bukan subjek yang memiliki kesamaan hak dengan orang lain. 

Dalam salah satu arsip, kata Arif, diceritakan bahwa pernah terdapat kasus konflik antara baboe dan majikannya yang merupakan orang Belanda dengan keluaran peradilan, sang majikan mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum. 

“Sang majikan yang diketahui melakukan tindak pemukulan kepada baboe nyatanya dengan mudah mendapatkan vonis bebas hanya karena telah bercerita jujur di depan hakim,” katanya.  

Pada sisi lain, di samping berbagai ekspolitasi, dominasi, dan diskriminasi yang dialami oleh para baboe tersebut, diungkapkan Arif, bahwa sesungguhnya juga terdapat praktik-praktik humanisme di antara para baboe dan majikannya. 

Menurut Arif, terdapat arsip sejarah yang menceritakan bahwa baboe diperlakukan layaknya keluarga oleh majikannya. Di mata anak-anak Belanda, ada yang menganggap baboe sebagai salah satu orang tua mereka.  

“(Ada juga cerita di mana) Baboe oleh majikannya diperlakukan layaknya keluarga. Baboe dalam banyak kesempatan mendapatkan ruang yang sama dengan anggota keluarga lain (dengan batasan tertentu). Bahkan, anak-anak di banyak keluarga (Belanda) memiliki tingkat kedekatan yang lebih dengan Baboe dibanding dengan orang tuanya. Di dalam narasi besar sejarah Indonesia kehangatan antara baboe dengan tuannya ini minim terekspose akibat kepentingan-kepentingan politik tertentu dan terhambat oleh urusan ‘nasionalisme’,” tulis Arif dalam katalog pamerannya. 

Read Next