logo

Sekolah Kita

Masifkan Identitas Keagamaan, SMAN I Banguntapan Merujuk Parameter Akreditasi

Masifkan Identitas Keagamaan, SMAN I Banguntapan Merujuk Parameter Akreditasi
SMAN 1 Banguntapan Bantul (EDUWARA/Setyono)
Setyono, Sekolah Kita05 Agustus, 2022 00:46 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menemukan fakta menarik kasus pemaksaan jilbab oleh guru SMAN I Banguntapan, usai pemeriksaan guru agama berinisial U, Kamis (4/8/2022).

Menurut Kepala ORI DIY Budhi Masthuri, selama ini pihaknya mempertanyakan mengapa di sekolah negeri ini terdapat begitu banyak program dan kegiatan keagamaan untuk para siswa.

"Sekolah ini punya program keagamaan yang lumayan banyak. Selain pelajaran Agama, ada kegiatan tadarus bersama setiap pagi yang dipandu oleh guru di Ruang Wakil Kepala Sekolah dan dilantangkan ke setiap kelas," kata Budhi.

Setiap siswa yang sudah fasih membaca Al-Qur'an, diajak oleh guru kelas untuk ikut membaca Al-Qur’an. Sedangkan bagi yang belum bisa, maka hanya diam saja. Sedangkan untuk siswa yang non muslim dikumpulkan dalam satu ruang khusus selama kegiatan ini berlangsung.

Tidak hanya itu, program tadarus wajib lainnya juga harus dipenuhi anak didik di sekolah ini. Di mana target tadarus yang satunya ini mewajibkan murid muslim untuk menyelesaikan pembacaan Al-Quran minimal dua juz setiap minggu.

Sebagai satu dari tiga guru agama yang menyusun Kurikulum Pendidikan Agama, menurut Budhi, U menyatakan bahwa program-program keagaman ini dihadirkan atas dasar penilaian-penilaian pada proses penilaian akreditasi yang dilakukan Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M).

Dari sekian banyak parameter penilaian yang dilakukan BAN S/M setiap tahun, Budhi menyatakan ada satu penilaian yang multitafsir instrumen penilaiannya.

Dari salinan kriteria dan perangkat akreditasi, Budhi menyebut ada parameter penilaian yang tertulis 'Siswa menunjukkan perilaku religius dalam aktivitas di sekolah/madrasah'. Jika membaca instrumen parameter akreditasi dengan kebijakan yang diterapkan di sekolah, Budhi mengatakan pihaknya melihat terjadi kekeliruan membaca parameter.

"Ada perbedaan dari instrumen di panduan dengan penerjemahan di sekolah. Kalau seperti ini, ada benang merah kenapa masif (penggunaan identitas keagamaan di sekolah-sekolah negeri, red). Bisa jadi ada kontribusinya," jelasnya.

Terkait hal ini, Budhi mengatakan pihaknya minggu depan akan memanggil Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY untuk mengklarifikasi temuan menarik ini.

Pasalnya dalam proses pengisian akreditasi ini, pihak sekolah selalu mendiskusikan dengan perwakilan yang ditunjuk Disdikpora DIY sehingga tidak mungkin dinas tidak mengetahui hal ini karena mereka memfasilitasi pembimbingan pengisian akreditasi. 

Read Next