logo

Art

Museum Radyapustaka Gandeng ISI Surakarta Kenalkan Wayang ke Siswa

Museum Radyapustaka Gandeng ISI Surakarta Kenalkan Wayang ke Siswa
Belajar Bersama di Museum: Menggambar Koleksi Museum Radyapustaka, Jumat (28/10/2022). (Eduwara/K. Setia Widodo )
Redaksi, Art28 Oktober, 2022 16:26 WIB

Eduwara.com, SOLO – Sebanyak 35 siswa Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan di Kota Solo ikuti Belajar Bersama di Museum: Menggambar Koleksi Museum Radyapustaka, Jumat (28/10/2022). Kegiatan itu digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-132 museum yang berada di kompleks Sriwedari, Solo itu.

Dalam kesempatan tersebut, Museum Radyapustaka berkolaborasi dengan Program Studi (Prodi) Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Sebelum kegiatan menggambar, terdapat paparan materi mengenai wayang beber yang disampaikan tim Prodi DKV ISI Solo.

Salah seorang Dosen DKV ISI Solo yang ikut mendampingi acara tersebut Basnendar Herry Prilosadoso mengatakan kegiatan itu bertujuan mengenalkan koleksi-koleksi Museum Radyapustaka kepada generasi muda.

"Kebetulan dari kami, kolaborasi ini juga merupakan bagian hibah riset Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kami mencoba mentransformasi karakter wayang beber melalui media motion graphic," kata dia kepada Eduwara.com, Jumat (28/10/2022) di sela-sela acara.

Selain itu, sambung dia, terdapat juga media pengenalan salah satu lakon wayang beber melalui cerita bergambar. Setelah para siswa mendapatkan materi, barulah diberi kesempatan untuk menggambar koleksi yang ada di Museum Radyapustaka.

Namun mereka diberi acuan gambar wayang dari pawukon yang ada di museum. Basnendar menilai hal tersebut bertujuan untuk memudahkan dan tidak membuat bingung para siswa.

"Kalau dibebaskan, mereka pasti bingung. Maka dengan acuan berupa outline wayang pawukon paling tidak bisa memercepat ide dan mengenalkan kepada siswa," ungkap dia.

Mudah Diterima

Menurut Badnendar, menggambar merupakan media yang paling mudah diterima. Walaupun pihaknya tidak menargetkan tingkat keestetikan dari hasil gambar para siswa.

"Pengenalan lewat gambar lebih mudah ditangkap. Ada teori yang menyebutkan bahwa menggunakan gambar atau visual 80 persen mudah diterima daripada misalnya pemaparan dengan teori atau makalah. Secara memori pun juga mudah diterima," jelas dia.

Kemudian, selain aspek sensorik dengan menggambar juga memerlukan aspek motorik misalnya untuk membuat garis dan melihat contoh. Basnendar menambahkan, kegiatan itu merupakan langkah kecil yang perlu didukung seluruh stakeholder bahkan masyarakat dengan media atau keahlian masing-masing.

"Kami dari Prodi DKV terus berupaya menganalkan para generasi milenial melalui media-media seperti animasi, motion graphic, poster, dan komik. Hasilnya mungkin tidak instan dan bisa dikatakan tidak muda. Namun tetap berupaya dengan semaksimal mungkin," terang dia.

Salah seorang guru pendamping, Javian Inggit Restian menuturkan acara itu merupakan langkah yang baik untuk mengenalkan ragam koleksi wayang di Museum Radyapustaka.

"Saya di sini mengajak perwakilan dari kelas X, XI, dan XII agar ketika mereka kembali ke kelas bisa menceritakan kepada teman-temannya," beber dia yang juga guru bahasa Jawa SMAN 6 Solo itu.

Menurut Javian, melalui acara itu para siswa bisa mengetahui koleksi-koleksi museum serta perkembangan wayang beber meliputi historis, kebudayaan, ragam tutur, dan bahan-bahan pembuatannya.

"Jadi jika siswa ingin mengetahui lebih lanjut mengenai wayang, baik wayang secara umum maupun wayang beber, mereka bisa memetakan fokus apa yang ingin dipelajari. Kemudian secara tidak langsung acara ini menggaungkan kembali mengenai wayang beber kepada khalayak," tukas dia.

Sementara itu, salah seorang siswa yang berpartisipasi, Afifah Dwi Anjani mengatakan acara itu dapat memancing krativitas dan memperdalam pengetahuan budaya.

"Karena sebagian anak muda jaman sekarang sudah acuh dengan budaya lokal. Jadi acara ini bisa mendorong generasi muda sedikit demi sedikit untuk mengenal dan akrab dengan budaya lokal kita," beber dia.

Siswi kelas XI Layanan Pariwisata itu mengaku tidak terlalu kesulitan menggambar tokoh wayang pawukon yang dia dapatkan. Menurut Afifah, tidak masalah jika generasi muda mengikuti budaya luar, dengan catatan tidak melupakan budaya sendiri.

"Budaya lokal nenek moyang tidak hanya untuk tontonan, namun perlu dilestarikan dan diaksikan. Sehingga kreatifitas-kreatifitas juga lebih maju fan bebrkembang," pungkas dia. (K. Setia Widodo)

Read Next