logo

Art

Pengajian Artistik Sukra Manis #7 Mengurai Tata Rias dan Busana dalam Teater

Pengajian Artistik Sukra Manis #7 Mengurai Tata Rias dan Busana dalam Teater
Bambang Sugiyarto (kiri), Sugeng Yeah (dua dari kiri) dalam Pengajian Artistik Sukra Manis #7 tentang tata rias dan busana dengan judul Membaca Raga Mengukir Jiwa yang diselenggarakan oleh Sanggar Pasinaon Pelangi Solo, Jumat (4/2/2022) malam. (Eduwara.com/Dok. Istimewa Sanggar Pasinaon Pelangi)
Redaksi, Art06 Februari, 2022 19:42 WIB

Eduwara.com, SOLO—Jika sudah cinta kepada teater, maka cintailah sepenuh hati, tetapi jangan ngawur. Kemudian cintailah profesi masing-masing, kalau sudah cinta, pasti akan menjadi sesuatu.

Pesan tersebut membuat 20-an orang yang hadir dalam acara Pengajian Artistik Sukra Manis #7 mengangguk-angguk. Mereka terlihat mengiyakan perkataan yang disampaikan oleh Pendiri Sanggar Seni Kemasan Solo, Bambang Sugiarto itu.

Bambang mengungkapkan, begitulah dia biasa disapa. Sejurus kemudian, dia berkata kembali yang intinya dalam berkesenian harus disiplin. Ada peribahasa jika seniman adalah teman Tuhan.

“Ada unen-unen seniman itu kancane Gusti Allah, karena seniman nempil keindahan. Bagaimana kamu hidup kalau kamu tidak memiliki keindahan. Selain itu, seniman harus memiliki harga diri, harus menjaga harkat dan martabatnya. Manut lakune jaman ning aja kintir,” tegas dia.

Bambang menjadi salah satu pembicara dalam acara Pengajian Artistik Sukra Manis #7 yang diselenggarakan oleh Sanggar Pasinaon Pelangi Solo, Jumat (4/2/2022) malam. Acara yang rutin diadakan sebulan sekali itu mengundang seluruh seniman teater kota Solo, baik dari kelompok masyarakat, sekolah, dan kampus.

Pembahasan dalam acara yang digelar tiap bulan tersebut berbeda-beda tema. Pengajian Artistik Sukra Manis #7 membahas tata rias dan busana seni pertunjukan dengan tajuk Membaca Raga Mengukir Jiwa.

Bedah Naskah

Bambang mengatakan tata rias dan busana dalam seni pertunjukan sebenarnya tidak sulit, hanya saja harus semangat dan mempunyai kemauan untuk terus belajar. Dia menekankan, tahapan awal bagi seorang perias adalah harus mengikuti bedah naskah.

“Sebaiknya perias harus ikut bedah naskah. Setelah itu yang harus dilakukan adalah menafsir setiap tokoh untuk penentuan busana dan tata rias. Bila perlu hasil tafsiran digambar. Selanjutnya hasil tafsiran itu didiskusikan dengan sutradara. Diskusi ini menjadikan tafsiran terus berkembang,” kata dia.

Selain itu, perias juga harus beberapa kali mengikuti proses latihan. Saat melihat proses latihan, seorang perias harus memperhitungkan postur tubuh aktor, rambut, akting pemain banyak atau sedikit, serta banyak gerak atau tidak di atas panggung.

Salah seorang peserta bertanya dalam Pengajian Artistik Sukra Manis #7 tentang tata rias dan busana dengan judul Membaca Raga Mengukir Jiwa yang diselenggarakan oleh Sanggar Pasinaon Pelangi Solo, Jumat (4/2/2022) malam. (Eduwara.com/Dok. Istimewa Sanggar Pasinaon Pelangi)

 

Pakdhe Bambang menambahkan perias harus memperhitungkan dominan warna lampu dan bentuk setting panggung. Biasanya tata rias dan busana jika bertemu dengan setting panggung dan lampu, make up kostum bisa berubah. Maka dari itu, tata rias dan busana juga harus dicoba saat latihan.

Terkait dengan lampu dan setting panggung, dibahas oleh pembicara kedua yaitu praktisi penata cahaya, Sugeng Yeah. Menurut Yeah, semua elemen pementasan memang seharusnya dilibatkan dari tahap awal yaitu bedah naskah.

“Hirarki sebuah pertunjukan adalah perencanaan. Hal ini penting untuk dibudayakan. Saya setuju dengan perkataan Pakdhe Bambang bahwa dalam bedah naskah semua harus terlibat. Bedah naskah bukan hanya milik sutradara dan aktor. Artistik perlu dilibatkan. Saat ini kehadiran elemen artistik hanya dilibatkan di saat-saat terakhir, sehingga tidak hadir secara utuh,” kata dia.

Yeah kemudian menceritakan pengalamannya bekerja sama dengan Bambang. Sebagai penata cahaya, dia mengaku tidak repot dalam memilih warna. Hakikatnya penata cahaya juga harus mempertimbangkan rias busana, sehingga tidak boleh egois.

“Seorang perias juga harus memperkirakan tempat pentas, kesesuaian dengan aktor, dan unsur-unsur yang ada dalam panggung. Jadi seorang penata cahaya tidak nge-push dalam menentukan intensitas cahayanya. Sering warna kostum menjadi mati di panggung karena tidak diperhitungkan terlebih dahulu” tambah dia.

Di sisi lain, salah seorang peserta, Dimas Suro Aji mengatakan acara itu memberikan kebutuhan dasar-dasar artistik dalam dunia teater.

“Sebagai orang yang baru masuk dalam dunia teater acara ini memberi penjelasan tentang tata rias dan busana. Kemudian juga menjelaskan perbedaan konfigurasi tata rias dan busana saat kebutuhan pertunjukan panggung dan maupun rekaman kamera video,”

Perwakilan Kelompok Teater Bakat itu berharap pengajian artistik terus berlanjut hingga bisa menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam berteater. (K. Setia Widodo)

Editor: Riyanta

Read Next