logo

Kampus

Penguatan Demokrasi bukan Sekadar Politik Elektoral

Penguatan Demokrasi bukan Sekadar Politik Elektoral
Pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim menjadi pembicara dalam seminar bertajuk Konsolidasi Demokrasi dan Penguatan Ideologi Pancasila, Kamis (30/12/2021) di Ballroom Novotel Suites Yogyakarta. Seminar diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. (EDUWARA/Humas UGM)
Redaksi, Kampus02 Januari, 2022 09:20 WIB

Eduwara.com, JOGJA -- Menjelang pemilu tahun 2024, pelaksanaan demokrasi di Indonesia semakin diuji dari sisi penguatan konsolidasi dan kedewasaan warga masyarakat serta partai politik dalam menjalankan sistem demokrasi. 

Seperti diketahui, demokrasi tidak semata-mata sebagai cara untuk memilih calon pemimpin, namun menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan serta tersampainya aspirasi masyarakat selaku pemegang kedaulatan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kualitas lembaga demokrasi, partai politik, dan penguatan ideologi Pancasila agar demokrasi semakin baik dan berkualitas.   

Butir-butir pemikiran ini mengemuka dalam seminar bertajuk Konsolidasi Demokrasi dan Penguatan Ideologi Pancasila, Kamis (30/12/2021) di Ballroom Novotel Suites Yogyakarta. Seminar diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.

Dekan Fisipol UGM Wawan Masudi mengatakan sejak pasca era reformasi pelaksanaan demokrasi sudah melalui perkembangan yang cukup pesat. Namun, sistem elektoral sudah disepakati bersama sebagai mekanisme dalam memilih pemimpin. 

“Meski dengan berbagai macam problematikanya, politik elektoral sudah mencapai tahap konsolidasi,” papar Wawan Masudi, seperti dikutip dalam laman UGM.

Namun, lanjut Wawan, ada hal yang tidak perlu dilupakan, yaitu tujuan berdemokrasi untuk mencapai kesejahteraan. “Demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan penerima kesejahteraan,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan penguatan ideologi Pancasila sangat diperlukan di tengah perkembangan arus informasi yang begitu massif, yang bisa memunculkan dampak negatif berupa paham liberalisme, individualisme, eksklusivisme, kekerasan dan anti keragaman. Oleh karena itu, diperlukan penguatan ideologi Pancasila agar demokrasi yang sudah disepakati dan dijalankan ini tidak kehilangan tujuan dan arahnya. 

“Kita harus berpijak pada akar dan kepribadian bangsa kita agar konsolidasi demokrasi bisa dicapai,” ujarnya.

Pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim, mengatakan demokrasi Indonesia saat ini tengah berupaya mencari titik temu antara prosedur dan substansi demokrasi. Namun, demokrasi yang dijalankan saat ini menitikberatkan pada penyeragaman melalui mekanisme politik elektoral. Padahal, politik elektoral tidak sepenuhnya perlu diseragamkan di seluruh daerah di Indonesia. Ia mencontohkan demokrasi asimetris yang ada di DIY, DKI, dan Aceh.

“Ada praktik baik di daerah lainnya. Kita selama ini berambisi pada penyeragaman,” ujarnya.

Gaffar juga menyoroti makin lemahnya partisipasi warga dalam menyampaikan aspirasi, yang belakangan ini masih sering disalahartikan atau dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Menurut pandangannya, semua warga negara dalam sebuah komunitas politik berhak untuk berpartisipasi dan didengarkan suaranya 

“Tidak ada alasan yang demo itu harus memberikan solusi. Sebab, yang mencari solusi adalah pemerintah yang sudah digaji,” tandasnya.

Dosen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM Diah Kusumaningrum menyampaikan ciri negara yang demokratis adalah setiap warga masyarakat sudah saling memanusiakan, melindungi yang lemah, dan bisa berkonflik secara nirkekerasan. “Bahkan setiap warga pun juga harus siap kecewa,” ujarnya.

Seminar ini juga menghadirkan pembicara lain, yaitu Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Saiful Hidayat, Dosen Sosiologi UGM Dodi Ambardi, dan anggota Komisi X DPR RI My Esti Wijayati.

Read Next