Art
23 Februari, 2022 05:37 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Riyanta
Eduwara.com, SEMARANG—Globalisasi dan multilingualisme menjadi tantangan perkembangan bahasa daerah. Generasi muda mulai goyah kebanggaannya dengan bahasa daerah, itu menjadi tanda awal kepunahan bahasa.
Selain itu, migrasi dan mobilitas, kawin silang, serta globalisasi yang mengarah kepada monolingual menjadi faktor lain kepunahan bahasa.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Drs. Imam Budi Utomo, M.Hum dalam Seminar Daring Hari Bahasa Ibu Internasional "Bahasa Daerah Terawat, Bahasa Indonesia Bermartabat" yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Sabtu (19/2/2022).
Bahasa Jawa, menurut Imam, masih tergolong aman. Hal itu disebabkan masih banyak yang menuturkannya. Namun tidak mustahil jika bahasa Jawa mengalami pergeseran, kemunduran, hingga kepunahan.
"Kalau di rumah tidak menggunakan bahasa Jawa, yakinlah bahasa Jawa dalam dua generasi selanjutnya akan punah. Karena tidak lagi digunakan," tegas dia.
Oleh karena itu, diperlukan perlindungan bahasa dan sastra Jawa, salah satunya dengan revitalisasi. Wujud revitalisasi antara lain penyusunan dan penyediaan bahan ajar, serta festival kebahasaan dan kesastraan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang, Dr. Raden Arief Nugroho, S.S., M.Hum., mengatakan ada keprihatinan terhadap generasi muda yang kurang berminat kepada bahasa dan budaya Jawa.
"Hal ini menjadi refleksi bagi kita semua. Ternyata orang yang mempelajari dan mengaplikasikan bahasa Jawa khususnya krama inggil dan madya semakin berkurang," ujar dia.
Menurut Arief, solusi yang bisa dikedepankan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mencintai budaya Jawa terlebih dahulu.
"Hal ini sudah banyak disampaikan, ada kaitan antara mempelajari sebuah bahasa dengan mencintai budayanya," kata Arief.
Arief mencontohkan Korea Selatan. Pada tahun 1960-an, jumlah pengguna bahasa Korea di seluruh dunia hanya 2,8 persen. Sedangkan tahun 2021 menjadi 20,2 persen. Loncatan ini dikarenakan budaya Korea Selatan sudah menyebar ke seluruh dunia.
"Banyak orang ingin mempelajari bahasa Korea. Sebab mereka sudah jatuh cinta terhadap artis, musik, dan film Korea Selatan. Jadi mereka mencintai budaya terlebih dahulu kemudian belajar bahasanya," jelas dia.
Mendekati generasi muda, lanjut Arief, perlu penanganan khusus. Adanya tren baru seperti Non Fungible Token (NFT), Metaverse, dan Blockchain mengharuskan semua pihak membiasakan diri dan mengambil paradigma yang berbeda.
"Anak muda memiliki karakteristik khusus, maka pendekatannya harus berbeda. Ini adalah momentum untuk berkolaborasi sehingga kita bisa menatap masa depan bahasa ibu kita secara optimis dan positif," pungkas Arief. (K. Setia Widodo)
Bagikan