Ulang Tahun Ke-22, PAEI Gelar Diskusi Situs Ratu Boko

26 Maret, 2022 22:42 WIB

Penulis:Redaksi

Editor:Ida Gautama

26032022-Diskusi Candi Boko.jpg
Situs Ratu Boko, Jumat (25/3/2022). (EDUWARA/K. Setia Widodo)

Eduwara.com, SLEMAN – Terletak di ketinggian sekitar 110-299 meter di atas permukaan laut, situs Ratu Boko tergolong unik. Hal itu karena terdapat struktur bangunan bercorak Hindu dan Buddha di dalamnya. Berdasarkan prasasti Abhayagiriwihara yang berangka tahun 714 Saka (792 Masehi), situs Ratu Boko  merupakan wihara yang didirikan Rakai Panangkaran.

Hal itu disampaikan Perwakilan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jogja, Andi Riana dalam Diskusi Epigrafi Nusantara Ke-30, Jumat (25/3/2022). Acara yang diprakarsai Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Komda Yogyakarta di Meeting Room Sunset Situs Ratu Boko, Sleman, Yogyakarta diselenggarakan secara luring dan daring.

“Peninggalan yang bercorak Buddha berupa temuan struktur stupa, stupika, dan unfinished akshobya yang ditemukan di ujung timur situs Ratu Boko. Sebetulnya dulu juga ditemukan tablet yang sama seperti di Borobudur dan Mendut. Tetapi saya belum menemukan sekarang ada di mana,” kata Riana.

Dasar struktur stupa, sambung Riana, secara keseluruhan belum bisa menentukan dimensi landasan strukturnya. Sedangkan peninggalan Hindu berupa candi pembakaran, miniatur candi, arca Durga Mahisasuamardini, arca Ganesha, dan Yoni.

Menurut Riana, situs Ratu Boko memiliki ide cemerlang dalam pembangunan strukturnya. Pertama manajemen pengelolaan air. Nenek moyang sudah memperhatikan hal itu dengan dasar pengamatan kondisi alam, yakni tanah yang pekat sehingga air tidak cepat merembes.

“Di sebelah kolam bundar, ada kolam yang berbentuk kotak dengan kedalaman delapan meter. Pada musim kemarau tidak akan kehabisan air. Jadi ini adalah upaya menyimpan air karena situs yang berada di tempat yang tinggi dan jika dibuat sumur pasti akan dalam,” jelas dia.

Kedua, rekayasa lahan situs dengan teknik cut and fill. Teknik tersebut digunakan di pelataran yang tersusun atas batu-batu putih, di antaranya di wilayah timur, dua gua, dan tangga naik. Kemudian, di situs Ratu Boko terdapat dua gua yang disebut Gua Lanang dan Gua Wadon. Penamaan itu pada umumnya berasal dari masyarakat.

“Untuk Gua Wadon, ternyata di ambang pintu gua terdapat ukiran vagina. Kemudian yang satunya dinamakan Gua Lanang. Sampai sekarang menjadi nama dari kedua gua tersebut,” ujar Riana.

Kolaborasi Positif

Diskusi Epigrafi Nusantara Ke-30 merupakan edisi spesial karena diselenggarakan dalam rangka peringatan ulang tahun ke-22 PAEI. Ketua PAEI Pusat, Ninny Soesanti Tedjowasono, mengatakan anggota yang sebagian besar generasi muda harus tetap semangat mengembangkan keilmuan masing-masing.

Diskusi tersebut berkolaborasi dengan PAEI Komda Jawa Tengah, Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jogja, Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM, dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) wilayah setempat.

“Suatu kolaborasi yang sangat baik dan saling mendukung membawa dampak positif dalam perkembangan kemasyarakatan sekaligus pendidikan. Semoga konsep kerjasama ini bisa menjadi model kegiatan PAEI dengan keilmuan dan komunitas yang lain sehingga epigrafi dapat lebih dikenal masyarakat dan generasi muda,” kata dia.

Ninny menambahkan, pemilihan situs Ratu Boko merupakan kreatifitas dan diskusi ke-30 adalah giliran PAEI Komda Jogja. Setelah ada usulan dari BPCB Jogja, diskusi dilaksanakan secara luring dan daring.

“Ternyata rencana ini mendapat sambutan baik dari komda-komda lain seperti Sumatera, Bali, Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Kemudian juga disambut para petinggi yang tertarik mengikuti acara ini. Selain itu juga bekerja sama dengan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI),” kata dia.

Banyaknya peserta yang datang, sambung Ninny, muncul ide untuk ekskursi yang akhirnya mendapat dukungan BPCB Jogja dan Jawa Tengah. Menurut dia, acara itu menjadi kolaborasi yang baik karena ada pendidikan, sosialisasi masyarakat, hingga keikutsertaan komunitas.

Informasi yang diterima Eduwara.com, peserta luring berjumlah 150 orang, sedangkan peserta daring sebanyak 75 orang. Selain Andi Riana, diskusi itu juga menghadirkan Dosen Departemen Arkeologi FIB UGM, Tjahjono Prasodjo, yang memaparkan prasasti-prasasti dari situs Ratu Boko.

Tjahjono mengatakan ada sembilan prasasti yang ditemukan di situs Ratu Boko. Lima di antaranya merupakan prasasti yang berkaitan dengan peringatan pendirian Lingga.

“Pertama disebut prasasti Tryamwakalingga atau Ratu Boko b. Ditemukan tahun 1935, berbahasa Sanskerta dengan aksara Jawa kuno. Beberapa peneliti mengatakan tulisannya kurang begitu bagus. Isinya peringatan pendirian Lingga dan menyebut beberapa dewa dan berangka tahun 856 Masehi,” kata dia.

Penerjemahan prasasti tersebut sudah dilakukan oleh de Casparis. Walaupun peneliti lain agak mengkritik terjemahan itu, namun bisa dijadikan pijakan awal untuk penelitian lanjutan. Prasasti kedua yakni Haralingga, kemudian Kumbhayoni atau Pinakalingga, Sambhulingga, dan Krttikawasalingga.

Menurut Tjahjono, masih banyak hal yang bisa didiskusikan terkait prasasti temuan situs Ratu Boko. Dia menyarankan pembacaan dan penerjemahan ulang. Selain itu beberapa kasus perihal paleografi prasasti.

“Jika tertarik masalah Abhayagiriwihara, sangat bagus membaca artikel tahun 2004 oleh Sunberg. Dia mengaitkan dengan aksara prasasti Abhayagiriwihara dengan aksara dari Sino-Japanese Siddham. Selain itu juga bisa didiskusikan tokoh Sri Khumbaja dan Khumbayoni,” ujar dia. 

(K. Setia Widodo)