Rayakan Keberagaman Budaya, Mugi Dance Studio Gelar Asian Arts Festival 2022

24 Juli, 2022 20:34 WIB

Penulis:Redaksi

Editor:Ida Gautama

24072022-Mugi Dance Studio.jpg
Penampilan Hastamataya dalam Asian Arts 2022 Festival di Mugi Dance Studio, Kartasura, Sukoharjo, Sabtu (23/7/2022) malam. (EDUWARA/K. Setia Widodo)

Eduwara.com, SUKOHARJO – Seperti halnya Indonesia, negara-negara di Asia juga memiliki kebudayaan yang beragam. Keberagaman itu patut disyukuri, dirayakan, dikomunikasikan, sehingga timbul rasa saling menghargai. 

Berangkat dari hal tersebut, Mugi Dance Studio, sebuah studio tari yang bertempat di Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, menggelar Asian Arts Festival 2022 pada Sabtu (23/7/2022) malam secara luring.

Pendiri Mugi Dance Studio, Mugiyono Kasido menuturkan pementasan secara luring bertujuan mengembalikan gairah para penonton akan pertunjukan yang dihelat secara langsung.

“Karena dua tahun ini dilaksanakan secara virtual. Imbasnya sering melihat gawai, jadi jarang untuk melihat secara langsung. Saya ingin mencoba mengembalikan lagi biar ada perasaan bagaimana melihat pertunjukan yang diselenggarakan secara langsung,” ujar Mugiyono Kasido kepada Eduwara.com, Sabtu (23/7/2022) selepas acara.

Asian Arts Festival, sambung dia, biasa digelar setiap tahun. Namun tidak jarang digelar dua tahun sekali. 

Pantauan Eduwara.com, selain para warga yang menonton, turut hadir pula perwakilan dari Pemerintah Daerah, Kecamatan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kopassus, Koramil, serta Kodim. Mugiyono menilai kehadiran mereka menjadi sebuah dukungan moril bahwa kondisi sudah mulai tumbuh kembali.

Asian Arts Festival 2022 menyajikan delapan penampil yaitu Wangi Indriya dari Indramayu, Studio Titik Dua dari Ciamis, Oengaran Menari Semarang, Komunitas Serang Sragen, Marvel dan Soei, Mugiyono Kasido, Komunitas Difabel Karanganyar, serta Hastamataya dari Solo. 

Kedelapan penampil tersebut, sebagian besar merupakan generasi muda. Pelibatan mereka, menurut Mugiyono, menjadi sarana untuk menumbuhkan cinta terhadap kesenian serta kepercayaan diri.

“Pelibatan generasi muda bertujuan agar mereka tumbuh mencintai kesenian dan kepercayaan diri. Terutama dari Komunitas Difabel Karanganyar, saya melihat mereka punya sesuatu yang luar biasa. Akhirnya mereka berani tampil dan bangga. Nilai-nilai itulah yang harus dihargai, supaya orang lain tahu akan kemapuan mereka,” jelas dia.

Tanpa Penampil dari Luar Negeri

Mugiyono menambahkan, karena pandemi Covid-19 belum seleasai, untuk sementara penampil belum ada yang berasal dari luar Indonesia. Hal ini berbeda saat Asian Arts Festival 2021, yang terdapat penampil dari luar negeri, yakni Jepang, Kamboja, dan Thailand walaupun masih secara virtual.

Salah seorang penampil Hastamataya, yang bernama asli Prayogo Kukuh Prasetyo, mengaku senang bisa berpartisipasi dalam acara tersebut.

“Ini kali pertama saya mengikuti Asian Arts Festival serta bekerja sama dengan Mugi Dance Studio. Tentu saya senang sekali bisa berpartisipasi dan sangat bersyukur. Karena seorang seniman berskala internasional seperti Pak Mugi mampu memberikan ruang ekspresi kepada generasi muda,” terang dia yang kerap disapa Kukuh itu.

Mahasiswa Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Solo itu menampilkan karya berjudul Suara Asia. Karya tersebut merupakan repertoar dari beberapa vokabuler vokal di Asia seperti Tibet, Mongolian, Kanton Cina, Pansori Korea, dan Kabuki Jepang yang dikemas menjadi sebuah pertunjukan suara.

Isian karya, sambung Kukuh, mengambil peristiwa di Kerala, India. Saat itu, pada awal pandemi Covid-19 ada satu induk gajah yang mati karena memakan nanas yang diisi petasan.

“Saya menampilkan dengan mengadaptasi kegelisahan dan kesedihan dari induk gajah tersebut. Juga harus menjadi perhatian bahwa di Asia populasi gajah saat ini memprihatinkan karena jumlahnya menipis. Jadi selain mengungkapkan vokabuler vokal tradisional, juga memberi pesan bagaimana kita melihat realitas keadaan alam lingkungan di Asia,” kata dia.

Sementara itu, salah seorang penonton, Emi Triani mengatakan acara tersebut patut diapresiasi karena mengandung nilai-nlai seni. Apalagi di sekitar Mugi Dance Studio jarang sekali ada gelaran seperti itu.

“Acara ini bisa menumbuhkan kembali nilai-nilai seni yang ada sekitar sini. Pun ketika saya melihatnya, baik dari runtutan acara hingga penampilan-penampilannya juga unik, yang saya belum pernah menyaksikannya,” tutur dia.

Menurut Emi, Sanggar Serang Sragen menjadi penampil yang menyedot perhatiannya. 

“Karena di awal kaget tiba-tiba ada pertunjukan yang dihadapkan dengan suasana penuh amarah dan konflik. Kemudian ada prolog yang menceritakan kehidupan serta pengaruh jiwa, dan diakhiri dengan nyanyian diiringi pemukulan lesung,” tambah dia. (K. Setia Widodo)