Art
03 Mei, 2023 23:53 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA – Sempat popular pada era 1970-an, drama atau teater rakyat berbahasa Jawa yang punah kini dicoba dihidupkan lagi oleh Komunitas Sedhut Senut yang ada di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mendapatkan dana hibah program Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sedhut Senut mengajak kelompok sandiwara dua desa di Gunungkidul dan satu desa Bantul menghidupkan kembali sandiwara berbahasa Jawa ini.
Ketua Kelompok Sedhut Senut Fajar Murdiyanto mengatakan, sandiwara bahasa Jawa merupakan satu tradisi yang eksistensinya semakin redup di kalangan masyarakat berbahasa Jawa. Kesenian ini kalah pamor dengan ketoprak, wayang, serta jatilan yang rutin dipertunjukkan.
"Sesuai dengan rencana anggaran kegiatan, kami mendapatkan dana hibah senilai Rp 800 juta. Kami ingin memulai menghidupkan kesenian sandiwara berbahasa Jawa melalui berbagai lini kegiatan," jelas Fajar Murdiyanto di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Rabu (3/5/2023).
Berjalan sejak akhir Februari lalu, gerakan dilakukan dengan melakukan kajian mendalam terkait sejarah sandiwara berbahasa Jawa. Dari sini disusun berbagai model pelatihan yang kemudian disebarluaskan melalui sarasehan-sarasehan di berbagai tempat.
Salah satu sarasehan yang digelar bertajuk 'Posisi dan Eksistensi Sandiwara Berbahas Jawa dan Gaya Pertunjukan Kelompok Sedhut Senut' pada Rabu (3/5/2023). Program selanjutnya adalah pendampingan bagi peminat sandiwara berbahasa Jawa yang akan digulirkan mulai Juni 2023.
Festival Sandiwara Bahasa Jawa
Dari sarasehan ini, Sakijo, panggilan akrab Fajar menyebut ada titik temu tentang konsep yang akan diusung untuk mengenalkan serta menyosialisasikan teater berbahasa jawa di masyarakat. Menurutnya, konsep penting yang disepakati adalah membebaskan peminat kesenian ini mengkreasikan ide, tema, pemain sampai lokasi pementasan.
"Kami tidak ingin membatasi kreasi mereka. Kami bebaskan kreasi mereka tanpa pakem seperti ketoprak maupun wayang," jelasnya.
Sebagai akhir dari program ini, komunitas yang dulu bernama Sego Gurih ini, akan menyelenggarakan sebuah festival sandiwara berbahasa Jawa 'Melankori Festival' pada September tahun ini. Ditargetkan delapan kelompok akan ikut serta dalam festival tersebut.
Dalam festival tersebut, Sakijo mengaku, pihaknya akan mengusung tema besar tentang jelajah desa. Namun untuk tema-nya nanti akan diserahkan kepada desa-desa yang menjadi peserta. Bisa mengangkat tema tentang isu sosial di masyarakat, kehidupan sehari-hari, bahkan dinamika politik.
"Untuk tema-nya nanti kami bebaskan. Namun yang biasa ditampilkan dalam sandiwara berbahasa Jawa itu tema realis, seperti tentang realita masyarakat sehari-hari," kata Sakijo.
Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Bantul, Tri Jaka Suhartaka mengakui pihaknya belum pernah menggelar festival sandiwara berbahasa Jawa karena anggaran terbatas.
"Namun, untuk lokakarya sandiwara berbahasa Jawa pernah kami lakukan di Kalurahan Gilangharjo pada 2019 lalu," katanya.
Karena sandiwara berbahasa Jawa masih belum familier di masyarakat, pihaknya mendukung kegiatan tersebut digelar oleh kelompok seni. Sehingga kegiatan yang dilakukan komunitas Sedhut Senut dinilai mampu menghidupkan sandiwara bahasa Jawa agar tidak ditinggalkan generasi muda.
Kelompok Sedhut Senut berdiri pada 1996 dengan nama pertama, Sego Gurih. Ini merupakan komunitas anak-anak dari jurusan teater SMK 1 Kasihan Bantul. Pada Mei 2017 Komunitas Sego Gurih mengubah namanya menjadi Kelompok Sedhut Senut karena ingin mengusung gagasan baru tentang penggunaan tonil sebagai medium dekoratif dalam setiap pertunjukannya.
Bagikan